Tuesday, October 8, 2013

[Review] The Apartment (1960)

The Apartment (1960)
Comedy | Drama | Romance  
Directed by Billy Wilder
Starring: Jack Lemmon, Shirley MacLaine and Fred MacMurray 


C.C. Baxter:  I've decided to become a "mensch". You know what that means? A human being. 

 
Daya tarik sebuah film drama / romantic comedy memang bisa ditentukan oleh banyak hal, seperti misalnya alur cerita yg dirangkai secara manis, tokoh utama yg cenderung mudah utk disukai dan tak ketinggalan film itu sendiri dipenuhi adegan2 yg memorable, semua daya tarik  memikat ini saya rasakan setelah menonton sebuah film klasik pemenang Best picture Academy Awards berjudul The Apartment (1960). Film ini mengisahkan tentang hidup seorang pegawai perusahan asuransi besar di New York bernama C.C Baxter (Jack Lemmon), ia dapat terbilang sosok pria yg cukup menderita karena apartemen miliknya sering dipinjamkan kepada para atasan di kantornya sbg tempat perselingkuhan, Baxter tak kuasa menolak selain karena yg meminta adalah atasannya, ia diiming-imingi akan naik jabatan. Tentu saja karena “kebaikannya” tersebut Baxter tergolong mudah utk naik jabatan, namun ia sendiri merasa tertekan karena setiap kali ingin istirahat tenang di apartemennya, para atasannya justru selalu menggangu dengan meminta Baxter meminjamkan apartemennya tesebut, selain itu tetangganya sering salah paham terhadap Baxter karena dianggap suka mabuk & sering berganti-ganti wanita. Baxter sendiri yg memang masih lajang merasa lebih tertarik kepada seorang pegawai lift cantik dan ramah yg sering ia temui di kantornya, perempuan tersebut bernama Fran Kubelik (Shirley MacLaine) dan Baxter dengan percaya diri melakukan pendekatan, tapi tanpa ia sadari Kubelik ternyata sudah menjalin hubungan perselingkuhan dengan sang direktur perusahan J.D Sheldrake (Fred MacMurray) yg sudah berkeluarga. Keadaan semakin rumit saat Baxter diminta oleh sang bos Sheldrake utk meminjamkan apartemennya agar ia bisa menjalin affair dgn Kubelik.


The Apartment memang dapat saya kategorikan sebagai film klasik yg memikat dan tidak membosankan utk ditonton kapanpun. Kualitas yg ditunjukan lewat akting, naskah serta penyutradaraannya memiliki pengaruh yg sangat kuat di dalam film ini sendiri, Billy Wilder sang sutradara legendaris Hollywood yg menulis & menyutradarai film ini memang dikenal handal dalam meramu berbagai macam kisah, pertama kali saya dibuat kagum adalah saat menonton filmnya yg berjudul Sunset Boulevard (1950),  film itu bisa mencampurkan kisah drama dgn Noir yg terbilang satir lewat kisahnya yg menyerang industri Hollywood,  dan kali ini pun saya kembali terpukau dengan kehandalan Wilder dalam menyajikan kisah drama / romantic comedy yg lucu dan segar seperti The Apartment.  Menyaksikan kisah drama yg berbalut komedi seperti ini tentu banyak mengundang kelucuan, saya menilai film ini sangat  apik dalam mengeluarkan humor dari sebuah cerita yg terdapat perselingkuhan dan bahkan percobaan bunuh diri. Sebagai sebuah film drama, dialognya terasa natural dengan disertai bumbu humor yg terbilang jenaka, tapi bagaiamanapun juga ada sedikit nuansa depresi dalam film ini yg diwakili oleh kesepian Baxter dan keputusasaan  Kubelik, kemampuan akting serta chemistry dari Jack Lemmon (tampil dengan gaya khasnya yg lucu dan menawan) dan Shirley MacLaine (memukau lewat penampilannya yg ceria dan manis) termasuk luar biasa, mereka menghadirkan sosok yg mampu dipahami penonton lewat sifat yg ditunjukan oleh karakter yg dimainkannya. The Apartment dapat terbilang cukup berani pada masanya dalam mengangkat tema perselingkuhan, bahkan secara tidak langsung Billy Wilder seperti sedang menyalurkan sinismenya terhadap dunia korporasi Amerika lewat kisah film ini, tapi tentu yg akan selalu terkenang (bagi saya terutama) adalah momen dari perjuangan cinta yg dialami Baxter terhadap Kubelik, dimana ia akhinya memilih untuk tidak tunduk pada siapapun demi meraih kebahagiaan yg selama ini ia sudah dambakan, that's perfect. 
  

  TRIVIA:
- The Apartment adalah film hitam-putih terakhir yg meraih Best Picture Academy Awards sebelum akhirnya di tahun 1994 film Schindler's List memenangkan penghargaan, meski begitu film pemenang Best Picture berikutnya yg benar2 menggunakan warna hitam-putih seluruhnya adalah The Artist (2012)   

- Nama depan dr Baxter yakni C.C. adalah kependekan dari Calvin Clifford

- Di film ini ada karakter perempuan yg menyerupai sosok aktris cantik Marilyn Monroe, Billy Wilder sendiri pernah menyutradarai Monroe di 2 filmnya yakni Seven Years Itch dan Some Like It Hot

- Billy Wilder mengakui kalo dirinya dan I.A.L Diamond (penulis naskah) sudah membayangkan sosok Jack Lemmon utk memerankan C.C Baxter saat mereka menulis naskah film ini.

Thursday, August 15, 2013

[Review] Mud (2013)

Mud (2013)
 Drama I Adventure
Directed by Jeff Nichols
Starring: Matthew McConaughey, Tye Sheridan, Jacob Lofland and Reese Witherspoon


Mud: "You gotta watch yourself."  


Setiap tahun saya selalu menantikan munculnya film2 indie yg menarik, berkualitas tinggi dan dibuat dengan sepenuh hati, untuk tahun ini saya rasa film Mud arahan sutradara/penulis Jeff Nichols sudah mewakili hal tersebut, pada intinya Mud merupakan sebuah kisah petualangan/coming-of-age yg terasa sederhana dalam menceritakan kehidupan penduduk Amerika yg tinggal di daerah pedesaan Arkansas dekat sungai Mississippi, dua orang sahabat berusia 14 thn bernama Ellis (Tye Sheridan) dan Neckbone (Jacob Lofland) menyusuri sungai dengan kapal motor, menuju sebuah pulau terpencil dan disana mereka menemukan sebuah kapal kosong yg berada di atas pohon, Ellis dan Neckbone menyadari di pulau tersebut ada seseorang yg tinggal hingga mereka pun akhirnya bertemu dgn sosok bernama Mud (Matthew McConaughey), pria yg berpenampilan kotor dengan kulit kecokelatan seperti terbakar matahari ini berjanji akan memberikan kapal yg ia miliki utk Ellis dan Neckbone, dengan syarat kedua anak tersebut memberikan Mud persediaan makanan dan menolongnya agar bisa kembali bertemu dengan sang kekasih bernama Juniper (Reese Witherspoon), setelah mereka sepakat utk saling bekerjasama Ellis dan Neckbone menyadari bahwa Mud ternyata seorang buronan yg melarikan diri dr kejaran polisi, Ellis tetap ingin membantu Mud meskipun ia sendiri mengalami masalah karena kedua orangtuanya ingin berpisah dan memaksa Ellis utk pindah ke kota meninggalkan daerah asalnya Arkansas yg  sangat ia cintai.



Buat saya Mud jelas merupakan sebuah film drama coming-of-age yg mempesona dengan sentuhan humanis yg terasa mendalam tanpa perlu mengumbar sentimentalitas berlebihan, film ketiga (setelah Take Shelter yg menegangkan di thn 2011) sutradara/penulis Jeff Nichols ini memang terlihat seperti mengambil inspirasi dari The Adventures of Huckleberry Finn karya Mark Twain (yg juga merupakan pengarang favorit dr sang sutradara), selain itu film yg melakukan debut di festival film Cannes ini juga menggambarkan kehidupan sederhana masa kini dr masyarakat daerah selatan Amerika, khususnya pedesaan Arkansas yg menjadi setting-nya, secara khusus nampak Jeff Nichols ingin menunjukan keindahan pemandangan alam secara natural disini, terlihat gambar perairan sungai Mississippi dan pepohohonan di pulau ditangkap scr baik hingga menghasilkan visual yg terasa seperti film2 karya Terrence Malick.   

                                               
 
Penampilan dari para pemeran film ini pun juga sangat bagus khususnya Matthew McConaughey yg belakangan ini seperti mengalami transformasi karir yg luar biasa, ia kini berani mengambil peran2 menantang seperti dalam Killer Joe, Magic Mike dan The Paperboy. Di film ini sendiri ia menampilkan akting yg memikat dengan gaya bicaranya yg khas serta tampilannya yg meyakinkan seolah ia memang adalah orang yg lama hidup terasing di sebuah pulau. Karakter Mud memang menjadi kunci yg menggerakan kisahnya tapi film ini sendiri lebih mengisahkan tentang proses pendewasaan dari tokoh anak kecilnya terutama Ellis, ia bisa dibilang tokoh sentral yg mengalami berbagai macam petualangan serta konflik dalam hidupnya, ada juga terselip kisah cintanya dengan seorang gadis tak jauh berbeda dengan apa yg dialami oleh Mud sendiri. Kepolosan, kejujuran, serta penjiwaan yg nyata dr tokoh2 dalam film ini (terutama Mud & Ellis sendiri)  dapat membuat penonton yg menyaksikannya juga ikut merasakan gejolak emosi yg mereka alami, inilah faktor utama yg membuat saya terpukau dengan film berbudget sekitar 10 juta US$ ini. Sejauh yg saya sudah saksikan Mud adalah film terbaik di thn 2013 ini, Jeff Nichols memang seorang sutradara muda yg sangat berbakat  dalam menampilkan kisah drama yg menarik seperti Mud, patut diitunggu karya berikutnya yg bisa ia hasilkan.    

 

Thursday, July 25, 2013

[Review] Only God Forgives (2013)

Only God Forgives (2013)
Crime | Drama | Thriller
Directed by Nicolas Winding Refn
Starring: Ryan Gosling, Kristin Scott Thomas, Vithaya Pansringarm 
 Time to Meet The Devil 

Di tahun 2011, nama Nicolas Winding Refn seolah mendapat perhatian khusus dari kalangan kritikus dan penggemar film lewat karyanya berjudul Drive, sebuah Retro-noir yg stylish  dan menampilkan karakter utamanya yg pendiam, misterius sekaligus memikat. Kerja samannya yg intens dengan sang aktor Ryan Gosling dan penyutradaraan film tersebut dianggap brilian hingga mampu membuahkan Best Director di Cannes (film ini juga meraup untung 76 juta dollar scr global, lima kali dr budget-nya). Oleh karena itu kolaborasi antara Refn dan Gosling pun menjadi layak ditunggu mengingat keduanya memutuskan utk terus bekerjasama dalam proyek film selanjutnya, seperti yg terbaru kali ini sebuah crime thriller yg keras dan bersetting di Bangkok berjudul Only God Forgives. Menampilkan karakter utama yg bernama Julian (Ryan Gosling), ia seorang ekspatriat Amerika yg tinggal di Bangkok Thailand dan menjalankan sebuah klub Thai Boxing utk menyamarkan bisnis operasi narkoba yg ia jalani.  Billy (Tom Burke) kakak dari Julian yg juga menetap di Bangkok mendapat masalah besar saat ia membunuh seorang psk yg masih di bawah umur, kepolisian Thailand yg dipimpin oleh letnan Chang (Vithaya Pansringarm) menangani kasus ini dan scr tak terduga malah membiarkan ayah dr sang anak utk membunuh Billy, setelah hal ini diketahui oleh Julian, ia pun menyadari jika Chang adalah seorang yg disebut-sebut sbg “Angel of Vengeance”, polisi dengan prinsip keadilan yg tak segan2 memotong, menyiksa bahkan membunuh setiap orang yg ia anggap pantas mendapat hukuman setimpal. Mendengar kabar anaknya sulungnya terbunuh, sang ibu dr Julian, Crystal (Kristin Scott Thomas) segera datang ke Bangkok dan memberi perintah kepada Julian serta anak buahnya utk membalas dendam kematian Billy.



Tidak seperti yg menjadi harapan saya, karya terbaru Nicolas Winding Refn dan Ryan Gosling ini ternyata tidak mampu menyajikan tontonan menarik dan keren selayaknya Drive. Memang ada beberapa kemiripan antara film ini dengan karya Refn-Gosling sebelumnya itu, sebut saja tokoh utama yg pendiam dengan aura misteriusnya, minimnya dialog yg juga membuat film ini lebih dingin dan untungnya bisa ditutupi oleh scoring music yg memikat dari Cliff Martinez, selain itu setting kota (Bangkok) yg eksotis terasa hidup dengan visual yg seperti bermandikan cahaya lampu neon. Segi desain artistik-nya menambah kesan surreal tersendiri dalam film yg disebut Refn sebagai sebuah Western modern ini, tapi memang semuanya itu tidak dapat menutupi banyak kehampaan film ini sendiri, karakterisasi dari setiap tokohnya seolah dibuat dengan penuh keanehan dan terkadang menjadi tidak manusiawi, bahkan untuk tokoh utama-nya saja yg diperankan oleh Gosling malah lebih terkesan pasif dan tidak memilki kelebihan apapun, jauh berbeda dgn karakter Gosling di film sebelumnya Drive yg lebih terlihat cool dan heroik. Film ini juga tidak mampu berbicara banyak dari segi plot-nya yg terasa klise seperti sebuah B-movie, pemeran pendukung-nya juga tidak banyak membantu dan kerap hadir hanya untuk menjadi korban kekejaman dari sang Angel of Vengeance, sosok polisi dengan prinsip moral yg anehnya sering berkaraoke. Harus diakui Refn memang hebat dalam menampilkan sisi brutalitas dengan gaya yg tidak konvensional, ia pun juga mampu menghadirkan karakter yg memikat (Bronson, Driver) dan film2-nya juga terkadang banyak menampilkan adegan yg  mengejutkan, namun ia nampaknya lupa kalo cerita yg menarik dan bisa memancing emosi penonton merupakan unsur penting yg tidak boleh dilupakan begitu saja. Buat saya Only God Forgives seolah hanya ingin menunjukan sisi buruk kekerasan dan manusia yg mampu melakukan sesuatu yg keji, tanpa basa-basi.




 

Wednesday, July 17, 2013

[Review] Trance (2013)

TRANCE (2013)
Crime | Drama | Thriller
Directed by Danny Boyle
Starring: James McAvoy, Vincent Cassel, Rosario Dawson


Elizabeth: The choice is yours. Do you want to remember or do you want to forget?  

Film dengan konsep tinggi yg bisa “memutar” otak memang akan selalu menantang untuk ditonton, beberapa film yg saya suka seperti Memento (200) dan Eternal Sunshine of the Spotless Mind (2004) masuk ke dalam kategori tersebut, dimana perhatian dan pikiran penonton terus dipacu utk memahami jalan ceritanya. Untuk tahun 2013 ini giliran sutradara pemenang Oscar Danny Boyle yg berusaha mengaburkan realitas dan mengacaukan kepala kita dgn film terbarunya Trance, sebuah film psychological thriller yg menarik dengan memasukan unsur hypnotist di dalamnya. Trance dimulai dengan sebuah pencurian lukisan Goya yg berharga tinggi di rumah pelelangan London, Simon (James McAvoy) adalah seorang juru lelang yg berusaha mengamankan lukisan tersebut saat aksi pencurian terjadi, namun rencananya gagal ketika bos gangster bernama Franck (Vincent Cassel) menghentikannya dan memukul kepala Simon hingga ia berdarah dan mengalami gegar otak. Franck yg mengambil folder penyimpanan lukisan dibuat terkejut saat ia membukanya dan justru menemukan bingkai kosong, lukisan berharga tersebut ternyata disembunyikan oleh Simon. Kesal merasa tertipu Franck menyuruh anak buahnya menyiksa Simon utk memberitahu dimana lukisan itu, namun kondisi Simon yg amnesia membuat ia tak bisa mengingat lagi keberadaan lukisan tersebut. Untuk mengetahuinya Franck membawa Simon bertemu seorang hipnoterapis bernama Elizabeth (Rosario Dawson), dari sini dimulailah kejar-kejaran yg membelokan realitas dan memasuki alam pikiran bawah sadar Simon saat ia dihipnotis dengan harapan bisa mengakses kembali memorinya yg hilang saat pencurian lukisan itu terjadi. 


Selalu saja ada yg menarik dari seorang Danny Boyle, sutradara asal Inggris ini  memang gemar bereksplorasi ke wilayah baru dengan gaya yg tidak biasa, mulai dari menangkap kecanduan heroin di Trainspotting, mencari surga dunia di The Beach, bepergian ke luar angkasa di Sunshine sampai petualangan menelusuri daerah kumuh India di Slumdog Millionaire saja bisa terlihat menyenangkan, film-filmnya selalu menampilkan sesuatu yg dinamis dengan detail dan kemampuan teknisnya yg terbilang handal. Keahliannya tersebut kembali ia tunjukan lewat film terbarunya Trance, Kali ini dengan dibantu penulis naskah John Hodge yg pernah bekerja sama dgn Danny di film pertamanya (Shallow Grave & Trainspotting), film ini juga seolah membawa Danny kembali ke kisah dunia kriminal seperti yg pernah ia tunjukan lewat film debutnya Shallow Grave. Trance sendiri awalnya lebih terasa selayaknya sebuah heist thriller dimana aksi kriminal seperti pencurian lebih ditonjolkan, karakterisasi dr protagonis (Simon) dan antagonisnya (Franck dkk) pun mudah utk diidentifikasi motifnya. Namun tenyata setelah unsur hipnotis itu sendiri masuk ke dalam ceritanya, plot film ini justru bergerak dengan ide-ide tentang persepsi & memori, mengeskplorasi tema kekerasan, cinta, kebohongan, dan manipulasi. Trance kemudian menjadi sebuah psychological thriller  yg membawa ketegangan sekaligus menyimpan kejutan di dalamnya.     


Dari segi akting James McAvoy menampilkan salah satu penampilan terbaiknya lewat tokoh utama yg mengalami amnesia, pada awalnya ia lebih seperti karakter korban yg tak berdaya, bisa mengundang simpatik lewat sikap dan terutama sorot matanya yg terlihat polos sebelum akhirnya rahasia yg cukup mengejutkan di dalam pikirannya terbuka lebar. Begitu juga dgn karakter hipnoterapis perempuan yg dimainkan oleh Rosario Dawson, ia seperti sosok femme fatale yg biasa ada dalam elemen film noir, ia memiliki peranan penting yg bisa mengungkapkan apa yg sebenarnya terjadi saat peristiwa pencurian lukisan tersebut, dua karakter inilah yg menjadi kunci utama dalam kisah film Trance, karakter bos gangster Franck ( Vincent Cassel) sendiri juga memiliki kaitan penting dalam alur ceritanya, bahkan meski ia seorang penjahat kita tetap bisa mengangapnya sebagai seorang korban. Terdapat juga beberapa kelemahan seperti tokoh sampingan anak buah Franck yg berjumlah 3 orang yg menurut saya tidak terlalu berpengaruh besar, selain itu Trance juga kurang terasa sisi emosional-nya seperti 2 film Danny sebelumnya yakni Slumdog Millionaire & 127 hours. Memang dibutuhkan fokus yg lebih saat menonton film ini agar logika plotnya dapat kita pahami sepenuhnya. Sebagian penonton mungkin saja akan mengangap kisahnya cenderung absurd dan stuktur alur ceritanya (penggunaan flashback dsb) dari awal seolah memang cenderung ingin memanipulasi persepsi penontonnya, tapi menurut saya plot yg terungkap perlahan justru adalah bagian dari keseruan film ini sendiri selain tentunya sebuah twist yg mengejutkan di akhir2 cerita. Sekali lagi lewat film Trance, Danny Boyle  berhasil menunjukan kemampuannya sebagai sutradara yg ahli meramu film2 lintas genre yg bisa mengundang perhatian, terlebih lagi film ini memang dibuat untuk menantang sekaligus membawa pikiran penonton ikut serta ke dalam perjalanan ceritanya.