Monday, May 20, 2013

[Review] Groundhog Day (1993)

Groundhog Day (1993)
Comedy | Drama | Fantasy
Directed by Harold Ramis 
Starring: Bill Murray, Andie MaCdowell and Chris Elliott 

He's having the day of his life...over and over again.


Setiap orang pasti pernah merasakan jika hari-harinya terasa sangat membosankan dengan melakukan rutinitas yg serupa, waktu pun terus berjalan hingga terkadang hidup ini terasa monoton. Namun apa jadinya jika suatu saat kita terbangun justru di hari yg sama secara berulang-ulang?, tentu keadaan dari hidup ini bisa diubah sedemikian rupa seperti yg terjadi dlm film Groundhog Day (1993) arahan Harold Ramis ini, sebuah film comedy-fantasy dengan premis yg menarik dan dibintangi aktor yg juga tdk kalah menariknya, yakni Bill Murray yg terkenal dgn ekpresi datarnya yg selalu bisa mengundang kelucuan, Kisahnya sendiri tentang seorang reporter cuaca di sebuah stasiun TV bernama Phil Connors (Bill Murray) yg ditugaskan utk meliput festival Groundhog Day di Punxsutawney, Pensnsylvania. Ia beserta sang produser, Rita (Andie MaCdowell) dan seorang kameramen Larry (Chris Elliott) pergi ke sana, setelah berhasil meliput acara tsb mereka justru tak bisa pulang karena ada badai salju yg memaksa mereka kembali ke kota Punxsutawney. Mulai dr sini petualangan aneh dimulai saat Phil yg terbangun pd jam 6 pagi dr tidurnya di kamar hotel mengalami hari yg sama, yakni tanggal 2 Februari saat festival Groundhog Day dilaksanakan dan hal ini ia alami scr terus menerus. Phil yg awalnya merasa aneh, terjebak dan tidak waras mulai memanfaatkan keadaan tersebut utk keuntungan pribadi, termasuk usahanya dlm mendekati sang wanita pujaan Rita, meski begitu Phil juga merasa kalo usahanya menjadi sia-sia karena hidupnya selalu berjalan di hari yg sama. 




Dengan konsep pengulangan waktu yg terjadi di alur ceritanya mungkin saja bisa membuat keunikan film ini terlihat membosankan, namun kenyataan yg terjadi justu sebaliknya, Groundhog Day tetap menjadi sebuah film yg menyenangkan dan (anehnya) tidak terasa membosankan utk ditonton kapanpun. Ini juga merupakan bukti bahwa tak semua film komedi khususnya Hollywood selalu menawarkan hal yg klise, karena justru Groundhog Day seolah menjadi salah satu dr sedikit film yg bisa memadukan unsur cult dgn mainstream. Banyak hal yg membuat film ini terlihat menarik selain tema high-concept cerdas yg digunakannya, pemilihan Bill Murray sebagai karakter utamanya tentu menjadi alasan kuat mengapa film ini jd terlihat menyenangkan, Bill selalu bisa tampil lucu tanpa harus memaksakan dirinya utk terlihat konyol. Ia memainkan perannya dgn sangat sempurna sebagai seorang yg sinis dan egosentris, Phil merasa tidak perlu memikirkan konsekuensi dr setiap perbuatannya karena tentu tdk akan memiliki efek di keesokan harinya. Di satu sisi selain sifatnya yg cenderung menyebalkan, Phil juga seorang yg tersiksa dengan “penjara” waktu yg ia alami sendiri, setiap usaha yg di awal ia lakukan utk menyenangkan dirinya sendiri justru membuat Phil bisa menyadari kalo ia memang harus merubah kepribadiannya, disinilah saya merasa Bill Murray sanggup menghidupkan perubahan emosi dr karakternya scr sederhana, hingga akhirnya Phil sendiri bisa menjadi tokoh yg likeable di mata penonton.





Memang Groundhog Day tetap menjadi film komedi romantis yg tentu saja menghadirkan sebuah kisah cinta di dalamnya, Bill Murray selalu  bisa cocok dgn setiap lawan mainnya dan di film ini hubungan cintanya dgn karakter yg diperankan Andie MaCdowell  terasa unik dan lucu, Phil seperti memanfaatkan setiap situasi yg dialaminya scr maksimal, ia mempelajari kebiasaan dan segala hal yg menjadi kesukaan dr Rita agar bisa menarik perhatiannya, tak jarang ciri khas Bill Murray sendiri yakni ekspresi datar dr wajahnya terlihat saat cintanya justru ditolak oleh Rita. Banyak momen yg menggambarkan kejadian lucu yg dialami Phil dlm film ini tapi yg paling  teringat oleh saya tentu saat Phil bisa menebak setiap kejadian yg akan ia alami dan ia pun belajar utk menjadi manusia yg bisa bermanfaat bagi sesamanya, saat momen tersebut terjadi film ini menjadi terasa mengharukan tanpa menghilangkan sisi humor di dalamnya. Kredit khusus tentu pantas diberikan utk Harold Ramis dan sang co-writer Danny Rubin yg bisa mewujudkan kisah fantasi semacam ini menjadi terlihat lebih bermakna, bukan sekedar tontonan yg dipenuhi aksi2 konyol selayaknya film komedi yg justru semakin banyak diproduksi Hollywood. Groundhog Day memang sebuah film istimewa yg bisa membuat anda tertawa dan terharu di saat yg bersamaan, walau dgn format komedi berbalut fantasi film ini juga bisa menjadi bahan perenungan dr kehidupan yg kita jalani sehari-hari.   




TRIVIA:
-Festival Groundhog Day ada di Amerika Serikat dan Kanada yg bertujuan utk menyaksikan apakah bayangan tupai tanah bisa menentukan lamanya musim dingin. Istilah “Groundhog Day” juga dipakai utk menggambarkan kejadian yg tidak menyenangkan dan terjadi berulang-ulang.

-Sutradara Harold Ramis mengatakan jika ide film ini sendiri datang dr buku berjudul The Gay Science karya seorang filsuf terkenal Friedrich Nietzsche, isinya mengenai seorang pria yg hidup di hari yg sama berulang-ulang. 
 

Saturday, May 11, 2013

[Review] Anna Karenina (2012)

Anna Karenina (2012)
Drama
Directed by Joe Wright
Starring:  Keira Knightley, Jude Law, Matthew Macfadyen, Aaron Taylor-Johnson and Domhnall Gleeson


Count Vronsky: "There can be no peace for us, only misery, and the greatest happiness"

Karya sastra klasik memang selalu menarik  Hollywood utk diadaptasi menjadi sebuah film, bukan hal aneh lagi jika sebuah novel bisa sampai dibuatkan filmnya berulang-ulang dengan berbagai macam alasan, salah satunya adalah utk memberikan sudut pandang yg berbeda dan memperkenalkan karya tersebut ke generasi yg lebih muda, meski pd kenyataanya faktor keuntungan jugalah yg menjadi target dr para produser Hollywood. Novel klasik Anna Karenina karangan Leo Tolstoy memang sudah pernah dibuat versi layar lebarnya, seperti yg dibintangi Vivian Leigh (1948) maupun Sophie Marceau (1998), tapi semua film tersebut tidak pernah sukses dan bahkan cenderung terlupakan, semua penggemar novel Anna Karenina tentu berharap Joe Wright bisa mengadaptasi kisah cinta yg tragis tersebut menjadi sebuah film yg bisa memukau mengingat ia kembali bekerjasama dgn aktris Keira Knightley yg pernah sukses dlm 2 film sebelumnya (Pride & Prejudice, Atonement) dgn sang sutradara. Kisahnya tdk berubah dr novelnya dgn setting Rusia pd abad ke-19, seorang perempuan cantik bernama Anna Karenina (Keira Knightley) merasa tidak bahagia dalam pernikahannya dgn seorang aristokrat yg jauh lebih tua, Alexei Karenin (Jude Law), meski mereka hidup berkecukupan dan sudah memiliki seorang putra, Anna justru lebih tertarik utk menjalin affair dgn seorang prajurit muda yg tampan bernama Count Vronsky (Aaron Taylor-Johnson), selain itu ada juga kisah kehidupan kakak Anna yg tinggal di Moscow bernama Stiva (Matthew Macfadyen) yg juga tidak setia dgn istrinya Dolly (Kelly Macdonald), Stiva sendiri kedatangan sahabat lamanya yaitu Levin (Domhnall Gleeson) yg masih memendam cintanya pd adik ipar Stiva sendiri yg bernama Kitty (Alicia Vikander), pada awalnya Kitty sudah bertunangan dgn Count Vronsky namun sejak kedatangan Anna ke Moscow perhatian Vronsky langsung tertuju kpd perempuan yg sudah berkeluarga tersebut. 




Anna Karenina karya Count Leo Nikolayevich Tolstoy (1828-1910) disebut sebagai salah satu novel terbesar sepanjang masa, Tolstoy menceritakan sebuah kisah menakjubkan dengan membingkai berbagai segi dan kedalaman emosi cinta, buat yg sudah membaca novelnya tentu bisa memahami inti ceritanya dimana ada sisi gelap hubungan cinta yg saling melukai antara Anna dan Vronsky, yg dikontraskan dengan hubungan penuh kebahagiaan antara Kitty dan Levin. Dalam film ini Joe Wright yg dibantu oleh penulis naskah Tom Stoppard membuat sebuah interpretasi yg cenderung tak biasa bila dibanding dgn film period drama sebelumnya yg pernah ia buat, Joe berusaha membawa penonton ke suasana drama ala teater yg penuh kemegahan, dengan didukung konsep visual yg ambisius serta kostum dan desain produksi yg terlihat berkelas, semua terlihat enak di mata penonton, namun sayangnya kelebihan tersebut tak didukung oleh jangkauan dan dalamnya emosi yg terjalin antar para pemainnya. Saya merasakan film ini seperti lebih mengutamakan gaya dibanding substansinya, seharusnya banyak momen yg bisa dibuat lebih dramatis dgn mendalami setiap konflik dr karakternya itu sendiri, banyak sisi tokohnya yg seolah tidak digali scr mendalam seperti perasaan dilematis dr Anna yg harus membagi kasih sayangnya antara sang anak  dgn kekasih gelapnya, bagian dari karakter Anna terutama adalah sebuah peran yg menantang untuk seorang aktris dan Keira cukup matang dalam membawakan perannya tersebut, walaupun sisi minusnya ada di chemistry-nya dgn Aaron yg kadang terlihat tidak nyambung. Satu hal yg pasti; adaptasi adalah proses menangkap esensi sebuah karya asli untuk dituangkan ke media lain, memang tak bisa dihindari beberapa elemen akan tetap digunakan dan beberapa lainnya akan ditinggalkan, tetapi hati dan jiwa cerita itu haruslah sama dan inilah yg menurut saya hilang dr film ini. Terlihat indah dan berkilau namun mudah utk dilupakan.