Friday, May 25, 2012

[Review] The Innkeepers (2011)

The Innkeepers (2011)
Horror | Thriller  
Directed by Ti West
                               Starring: Sara Paxton, Pat Healy and Kelly McGillis

The Innkeepers merupakan sebuah film horror dengan setting sebuah tempat penginapan tua bernama Yankee Peddler Inn (lokasi nyata) yg masih beroperasi menjelang masa penutupannya, disini diceritakan 2 orang pegawai bernama Claire (Sara Paxton) dan Luke (Pat Healy) bekerja bergantian sebagai resepsionis hotel dan mereka mengisi kebosanan selama bertugas dgn saling mengobrol, bermain internet, dan mencoba utk menjadi pemburu hantu yg konon menghuni tempat penginapan itu. Claire sendiri sangat penasaran dgn cerita legenda yg mengatakan bahwa seorang wanita bernama Madeilene tewas gantung diri di Yankee Peddler dan ia pun memberanikan diri utk mencari tahu dan mencoba masuk ke dlm basement yg kabarnya merupakan tempat dimana Madeilene bunuh diri, selain itu kemunculan tamu misterius yg menempati hotel yakni seorang mantan aktris yg sangat diidolakan Claire dan mempunyai kemampuan layaknya paranormal bernama Leanne Jones (Kelly Mcgillis) dan seorang pria tua yg memaksa utk tinggal di kamar yg sudah dikosongkan menambah kesan mistis dalam tempat penginapan tersebut.




Film horror yg menggunakan setting sebuah hotel tua mungkin sekilas akan mengingatkan anda dgn The Shining-nya Stanley Kubrick apalagi penggunaan chapter dlm kisah filmnya semakin memunculkan kesan bahwa sang director Ti West memang terinspirasi dr The Shining yg menggunakan metode sama, di film ini Ti West yg juga menulis dan mengedit filmnya terlihat setia dgn gaya horror ’80-an yg lamban dgn kamera yg bergerak scr perlahan utk memunculkan ketegangan yg memuncak disertai efek sederhana dan lebih mengedepankan sisi akting dr pemerannya, beberapa hal yg membuat kisah menyeramkan bergaya kuno ini menarik yaitu penggambaran manusiawi dari kedua karakter utamanya yakni Claire & Luke yg berada dalam situasi kebosanan di dalam pekerjaannya dan beberapa kali dialog antar karakternya diselingi dgn humor yg seolah membuat film horror ini terlihat fresh, memang kisah hantu yg seperti ini sudah pernah tersaji sebelumnya tapi yg jelas The Innkeepers tetap merupakan sebuah film horror bergaya kuno yg menarik dgn penuturan kisahnya yg efektif utk dapat menakuti penonton
 


 

Wednesday, May 23, 2012

[Review] Midnight Cowboy (1969)

Midnight Cowboy (1969)
 Drama
Directed by John Schlesinger
Starring: Dustin Hoffman, Jon Voight and Sylvia Miles

Midnight Cowboy menceritakan tentang kisah hidup seorang pemuda tampan asal Texas bernama Joe Buck (Jon Voight), Ia bergaya layaknya seorang koboi dan pergi ke kota New York untuk mencari peruntungan  dengan menjadi seorang gigolo yg siap melayani wanita2 kaya di daerah Park Avenue, ternyata kehidupan di kota besar menyulitkan dirinya yg memiliki sifat polos dan lugu sampai pd akhirnya ia bertemu Enrico "Ratso" Rizzo (Dustin Hoffman), seorang gelandangan sakit-sakitan yg awalnya bersedia menjadi managernya namun Joe sadar bahwa ia sudah tertipu setelah Ratso kabur dgn membawa sejumlah uang miliknya, Joe akhirnya menemukan Ratso kembali dan ia justru merasa kasihan setelah melihat kondisi tempat tinggalnya yg memprihatinkan di sebuah kamar apartemen yg tak terawat, mereka berdua memulai babak baru utk bekerja sama lebih jujur demi dapat bertahan hidup di kota New York.



Film klasik karya sutradara John Schlesinger ini merupakan film pemenang Best Picture Oscar pertama yg mendapat rating x, saat itu rating x tak ada hubungannya dgn pronografi dan filmnnya sendiri akhirnya mendapat rating R, untuk ukuran tahun 1969 film ini memiliki adegan yg cukup berani dan terkesan vulgar walaupun jika dibandingkan dgn era sekarang hal itu menjadi normal2 saja, kekuatan film ini terletak pada ceritanya yg memikat disertai karakternya yg unik, penampilan Dustin Hoffman sangat berkesan sbg Ratso yg jago menipu bahkan untuk menghayati peran Ratso yg digambarkan berjalan dgn pincang ini Dustin sampai memasukan kerikill di dalam sepatunya agar penampilannya terlihat meyakinkan, aktor watak yg satu ini memang terkenal akan totalitasnya dlm berperan sehingga aktingnya disini justru lebih mencuri perhatian jika dibandingkan tokoh utamanya sendiri yg dimainkan Jon Voight, hubungan pertemanan antara Joe dan Ratso memang menjadi bagian utama di film ini dan karena perbedaan sifat antara keduanyalah yg justru membuat semakin konfliknya semakin menarik, Overall Midnight Cowboy merupakan film drama klasik yg berani dlm menggambarkan sisi gelap kehidupan urban di kota New York (sekilas terasa seperti menonton film karya Scorsese) dan dpt dibilang penggambaran hubungan persahabatan yg unik menjadi inti dr film ini sendiri.  



Thursday, May 3, 2012

[Review] Modus Anomali (2012)

Modus Anomali (2012)
 Thriller
Directed by Joko Anwar
Starring: Rio Dewanto, Hannah Al Rashid, Surya Saputra, & Marsha Timothy
 
 Modus Anomali adalah karya keempat dr sutradara/penulis skenario Joko Anwar dan ia kembali menghadirkan ketegangan dlm sebuah kisah bergenre thriller dan kali ini juga merupakan film pertamanya yg menggunakan format bahasa inggris dlm dialognya, bersetting di sebuah hutan belantara kisahnya dimulai saat seorang pria (Rio Dewanto) secara tak terduga muncul dr dalam tanah dan tidak bisa mengingat identitasnya sndiri, lalu ia mencari tahu apa yg terjadi dgn dirinya dan diketahui ternyata pria itu bernama John Evans dan ia sedang berlibur di sebuah kabin dlm hutan bersama istrinya yg sedang hamil dan dua orang anaknya. Setelah itu pria ini akhirnya mengetahui lewat sebuah video bahwa istrinya telah dibunuh scr sadis oleh seorang pembunuh yg tak dikenal, ia pun juga terlihat sedang diburu oleh sang pembunuh misterius itu dan membuat ia harus berlari-lari di tengah hutan dgn kondisi yg lelah dan ketakutan, ia menyelamatkan diri sambil mencari tahu apa yg sedang terjadi dgn dirinya dan juga nasib kedua anaknya yg hilang.


Jika kita melihat karya2 dr seorang Joko Anwar yg dikenal dlm membuat film thriller dgn cerita yg penuh twist disertai beberapa adegan yg “berdarah-darah”, tentu sudah dapat diduga ciri khas tersebut masih dapat kita temui di film terbarunya yg berjudul Modus Anomali, namun kali ini yg membedakan film ini dgn 2 film thriller sebelumnya yg ia buat (Kala & Pintu Terlarang) adalah plotnya yg lebih sederhana disertai adegan action yg benar2 terfokus utk menghadirkan nuansa yg mencekam dgn lokasi di sebuah hutan belantara, Joko mencoba menampilkan kisah yg menegangkan tersebut dgn membuat penonton seolah sedang mengikuti dan ikut merasakan apa yg dialami sang tokoh utamanya yg terlihat kebingungan disertai perasaan takut karena merasa jiwanya sedang terancam, pergerakan kamera red cam epic yg dinamis (pertama kali digunakan utk film Indonesia) dlm mengikuti karakter pria ini membuat kita juga ikut  berpetualang bersama sang karakter utama dlm mencari tahu apa yg sebenarnya terjadi dgn dirinya, walau kadang pergerakan kamera ini jugalah yg membuat penonton sedikit pusing dlm melihat adegan2nya, tentu dr judulnya saja “Modus Anomali” sudah tergambarkan sebuah hal yg tak terduga akan terjadi dan jelas sebuah spoiler alert utk yg ingin merasakan kejutan yg tersaji di film ini.


Pemeran dlm film ini memang hanya ada sekitar 8 dan semuanya nameless character/ tdk disebutkan namanya hanya man, husband, wife (kecuali  tokoh utamanya yg bernama John Evans) dan semuanya memiliki peranan yg spesifik dlm membuka kisahnya itu sendiri, disini pun penampilan sang tokoh pria yg diperankan Rio Dewanto lebih diutamakan dimana setiap adegan berkaitan langsung dgn tokohnya yg berlari sambil ketakutan di nyaris sepanjang film dan sisi emosionalnya pun dpt ia mainkan disini, penggunaan bahasa inggrisnya memang masih terdengar agak kaku walaupun itu tdk menjadi ganjalan karena memang dialog yg digunakan dlm film ini sangat jarang dipakai, scoring yg kembali dikerjakan oleh 2 personel band SORE (Bemby & Mondo) dan Aghi Narottama juga memegan peranan yg penting dlm membangun suasana ketegangan dlm film ini, kita dpt mendengar scr jelas suara2 langkah kaki maupun hewan2 yg ada dlm hutan tersebut dan tentu saja yg tak dpt dilupakan penggunaan lagu “Bogor Biru” yg dibawakan SORE seolah ingin  menambah kesan dramatis dlm film ini. Tentu kita berharap Joko Anwar akan menampilkan karya2nya yg lebih fresh dan bermutu apalagi dgn dukungan sang produser Sheila Timothy (Lifelike Pictures) yg terlihat kompak dlm mengerjakan sebuah film, Overall Modus Anomali memang nampak lebih minimalis dibandingkan film Joko sebelumnya Pintu Terlarang baik itu dr segi konsep, plot, budget, bahkan durasinya itu sendiri, selain itu juga ada beberapa hal2 detail yg kurang ditangkap scr jeli hingga momentum yg seharusnya menegangkan terkadang hilang begitu saja, namun film thriller ini jelas lebih baik dr segi teknis, ide maupun kreativitasnya utk ukuran film Indonesia, Semoga saja banyak sineas tanah air seperti Joko Anwar tetap menghadirkan film2 yg berbobot dan tentunya yg bisa lebih menghibur penonton Indonesia kedepannya. 



 

Wednesday, May 2, 2012

[Review] A Separation (2011)

A Separation (2011)
 Drama
Directed by Asghar Farhadi
Starring: Peyman Moadi, Leila Hatami, Sareh Bayat and Shahab Hosseini 


Sebagai sebuah film asal Iran yg berhasil menyabet berbagai macam penghargaan internasional A Separation membuktikan bahwa aspek penceritaan masih menjadi hal paling utama yg dpt membuat film itu menarik utk ditonton, sang sutradara sekaligus penulis naskah Asghar Farhadi nampak sangat fasih dlm menerjemahkan  kondisi sosial yg nyata ke dalam sebuah kisah dlm filmnya, A Separation menceritakan tentang kehidupan pasangan suami istri Nader (Peyman Mooadi) dan Simin (Leila Hatami) yg berada di ambang perceraian, Simin ingin meninggalkan Iran agar putrinya Termeh (Sarina Farhad) dapat tinggal di tempat yg lebih layak, namun hal itu tdk disetujui sang suami Nader yg tetap ingin bertahan demi untuk menjaga ayahnya yg menderita Alzheimer, karena perbedaan pendapat inilah yg membuat Simin akhirnya pindah ke rumah ibunya dan meninggalkan Nader serta Termeh. Sepeninggal Simin, Nader memutuskan menyewa seorang pengasuh bernama Razieh (Sareh Bayat) utk merawat ayahnya, Razieh yg saat itu sedang hamil menerima pekerjaan ini tanpa berkonsultasi dulu dgn suaminya Hodjat ( Shahab Hosseini) dimana hal itu diwajibkan menurut tradisi Iran, sebuah peristiwa menjadi konflik yg berkepanjangan ketika Nader marah saat menemukan ayahnya pingsan dan terjatuh di kamar akibat Razieh yg saat itu pergi keluar meninggalkan rumah, hal ini membuat Nader mengusir Razieh utk segera keluar dr rumahnya  dgn cara mendorong dan membuat perempuan ini kehilangan janinnya, masalah ini segera dibawa ke pengadilan dan konfilk yg terjadi semakin menarik dalam memutuskan siapa yg bersalah dlm kasus ini.


A Separation memiliki sebuah tema yg universal dengan didukung naskah yg kuat sehingga dpt membuat penonton tertarik utk mengikuti alur ceritanya sampai akhir, karakter yg digambarkan sangat manusiawi dimana masing2 tokoh memiliki sisi baik dan buruknya, tidak ada manusia yg digambarkan scr sempurna disini karena setiap tokohnya memiliki perbedaan dlm menghadapi setiap permasalahan. Filmnya sendiri seperti yg sdh kita ketahui banyak menerima penghargaan bergengsi di ajang2 internasional seperti Berlin (Golden Bear & Silver Bear) dan Oscar (Best Foreign Language Film), sebuah hal yg wajar apabila kita melihat kualitas sempurna yg ditampilkan dr berbagai aspek dlm film ini, dr segi cerita A Separation menampilkan kisah drama yg realistis dengan konflik2 yg ada di dalamnya, Asgar Farhadi dpt dibilang sbg seorang storyteller yg berbakat dlm meramu kisah dlm filmnya sehingga menarik utk ditonton sampai akhir sekalipun durasinya 2 jam, masalah perbedaan antar kelas & budaya dlm masyarakat Iran mampu dibuat menjadi topik yg menarik oleh sang sineas.


Ensemble cast yg bermain disini terlihat bagus dimana akting yg natural berhasil dibawakan para pemainnya dan karakterisasi dr setiap tokoh yg mereka mainkan terlihat sangat real, selain itu banyak dialog2 yg dibawakan scr menarik hingga membuat setiap konflik menjadi sedemikian emosionalnya, camerawork yg ditampilkan di film ini jg layak utk mendapat pujian dimana pengambilan gambar yg pas membuat setiap adegan terasa dinamis sekaligus dramatis. Tidak salah apabila kita mengatakan A Separation menjadi sebuah awal kebangkitan sinema Iran dan secara khusus menjadi bukti bahwa film2 non-hollywood masih lebih unggul dr aspek penceritaanya. Overall A Separation memang merupakan sebuah film drama yg berkelas dimana setiap perbedaan & konflik  yg bisa terjadi di kehidupan nyata tergambarkan dgn begitu apik dan humanis, jelas ini merupakan film yg istimewa utk ditonton.


Tuesday, April 24, 2012

[Review] Shame (2011)

Shame (2011)
Drama
Directed by Steve McQueen
Starring: Michael Fassbender, Carey Mulligan and James Badge Dale
 
Shame merupakan sebuah film drama yg mengisahkan tentang seorang pria pecandu seks yg merasa tersiksa akibat perbuatannya selama ini, sang tokoh utama Brandon (Michael Fassbender) adalah seorang pria berusia sekitar tigapuluhan yg bekerja di New York dan memiliki kehidupan cukup mapan, awalnya ia tinggal sendirian di apartemennya sampai akhirnya kedatangan adik perempuannya yg bermasalah bernama Sissy (Carey Mulligan) yg ikut tinggal bersamanya, Brandon yg merupakan seorang pecandu seks kerap memuaskan hasrat dan nafsunya dgn mengencani setiap perempuan baik itu wanita panggilan sampai rekan kantornya sendiri dan terlihat ia tidak dapat mengontrol perilakunya yg terasa menyimpang itu, hal ini semakin menenggelamkan Brandon dalam rasa benci dan malu terhadap dirinya sendiri serta membuat ia terlihat frustasi dgn apa yg ia lakukan selama ini, apalagi ditambah hubungannya yg tdk akur dgn adiknya Sissy semakin menambah permasalahan dlm kehidupannya.


Sangat berani dan kontroversial mungkin adalah gambaran yg tepat tentang film ini mengingat banyakya adegan seks yg ditampilkan disini, karya kedua dr sang sang sutradara Steve McQueen sekaligus kedua kalinya juga bekerjasama dgn Michael Fassbender setelah Hunger di 2008, dalam film ini Steve McQueen menampilkan sebuah character-study yg memikat dgn konflik yg scr perlahan dialami oleh tokoh utamanya Brandon, pengambilan gambar long takes serta pemilihan setting di jalanan & subway New York juga terasa pas dgn kondisi keterasingan yg dialami oleh tokoh utamanya dgn kehidupannya yg bermasalah di tengah perkotaan besar, Shame dapat dibilang sbg sebuah film tentang adiksi seks yg tak basa-basi dan membawa penontonnya ikut larut dalam konflik kehidupan dr tokoh utamanya, apalagi didukung dgn penampilan Michael Fassbender yg prima dan terlihat sangat meyakinkan sebagai seseorang yg menderita karena kecanduan seks, aktor berdarah Jerman-Irlandia ini berakting dgn penuh totalitas disini dan ia pun berani menampilkan nude scene yg bagi sebagian aktor mungkin akan merasa malu tampil sangat “polos” dlm sebuah feature film dan terbukti usahanya tersebut berhasil diganjar dgn penghargaan Best Actor Venice Film Festival serta masuk nominasi Golden Globe.


Penampilan yg berani juga dimainkan oleh Carey Mulligan dimana karakternya disini sbg sosok adik terasa ambigu karena hubungan kakak beradik yg ditampilkan sangatlah tak lazim( mungkin apa yg dialami Sissy dan Brandon di masa kecil berpengaruh thdp keadaan mereka yg sekarang), film yg naskahnya ditulis oleh Steve McQueen & Aby Morgan ini diberi rating NC-17 oleh badan sensor dan itu jelas menambah sulit utk perilisan filmnya secara luas, banyak adegan yg menampilkan konten seksual scr eksplisit menjadi pertimbangan dan memang hal itu memiliki pengaruh thdp keutuhan dr ceritanya itu sendiri, overall Shame merupakan sebuah karya yg provokatif dgn tema seks yg ditampilkan, terasa depresif karena lebih menekankan ke dlm segi emosional dibalik unsur seksnya sendiri dan jelas film yg sangat berani dgn penampilan Michael Fassbender yg patut utk diapresiasi tinggi.
 

Monday, April 9, 2012

[Review] The Raid/Serbuan Maut (2012)

The Raid (2012)
 Action | Crime | Thriller
Directed by Gareth Evans
Starring: Iko Uwais, Joe Taslim, Yayan Ruhian, Ray Sahetapy & Dony Alamsyah

The Raid/Serbuan Maut dapat dibilang sebuah pencapaian terbaik utk film Indonesia terutama dlm genre Action, digarap secara apik oleh sang sutradara Gareth Evans dengan aktor utamanya Iko Uwais dan merupakan kolaborasi kedua mereka setelah film Merantau di thn 2009, kisahnya tentang penyerbuan sebuah gedung apartemen tua yg merupakan markas mafia narkotik oleh sekelompok pasukan khusus beranggotakan 20 org yg dipimpin Sersan Jaka (Joe Taslim) dan Letnan Wahyu (Pierre Gruno) dgn anak buahnya seorang prajurit rookie bernama Rama (Iko Uwais), mereka memasuki wilayah yg dikuasai sang bos mafia yg kejam bernama Tama (Ray Sahetapy) dgn ditemani 2 orang kepercayaannya yg jago dlm bertarung yakni Andi (Donny Alamsyah) dan Mad Dog (Yayan Ruhian), rencana penyerbuan yg semula berjalan lancar harus berakhir setelah diketahui oleh anak buah Tama yg langsung melakukan perlawanan dan membuat para prajurit yg terjebak didalam gedung harus berjuang mati-matian dalam menjalankan misinya.


Di opening scene kita sdh melihat sang tokoh utamanya Rama melakukan latihan yg keras agar siap dlm menjalankan tugasnya yg berbahaya dan memang ia pun harus bertarung dengan sekuat tenaga melawan satu per satu penjahat yg menghabisi rekan-rekannya sesama prajurit, sejak awal film The Raid sudah menampilkan adegan aksi yg tak henti-henti dengan baku tembak yg frontal sampai pertarungan yg terkesan brutal dan nyata didalamnya, apalagi disini Iko Uwais dkk kembali menampilkan seni beladiri asli Indonesia pencak silat yg menjadi sajian utama adegan pertarungannya. Iko dan Yayan dipercayakan kembali oleh sang sutradara utk memimpin koreografi dlm adegan pertarungan dan hasilnya sangat memukau, mereka berdua memang dikenal sbg “jagoan pencak silat” dan terlihat semua pertarungan tangan kosong yg ditampilkan disini tak kalah hebat dgn martial arts yg sudah terkenal seperti yg selama ini kita lihat dlm film2 action Jackie Chan atapun Jet Lee. Kehebatan Iko dlm memperagakan ilmu bela diri pencak silat patut mendapat apresiasi tinggi, sejak dr film Merantau sendiri ia sudah terlihat akan menjadi “The Next Big Thing” dlm film2 action dan potensinya tersebut dikembangkan secara maksimal oleh Gareth Evans dlm 2 film yg sdh ia buat.


Film The Raid sendiri berangkat dari kesuksesannya di berbagai ajang festival film internasional dan salah satunya meraih penghargaan di Toronto, bahkan sejak awal rilis di 2011 banyak kritikus yg berani menyebut The Raid sbg film action yg nyaris terbilang sempurna terutama dlm adegan pertarungan tangan kosongnya yg bisa memacu adrenaline.The Raid memang tampak lebih fokus dgn adegan2 laga sehingga terdapat beberapa kekurangan didalamnya seperti dialog yg kurang terdengar jelas, akting dr beberapa pemeran yg masih terlihat kaku, hingga beberapa karakter  yg porsinya terasa minim namun semua kekurangan itu tertutupi dengan sendirinya lewat sajian pertarungan2 sengit yg ditampilkan Iko dkk. Hal lain yg perlu dicermati adalah mengingat banyaknya kekerasan yg brutal di filmnya membuat The Raid lebih cocok utk penonton dewasa, secara keseluruhan The Raid dapat memuaskan dahaga para penggemar film action apalagi dgn kualitas produksi filmnya yg terbilang bagus dan tak kalah hebat dgn produk2 Hollywood, sebuah film action yg bermutu & wajib ditonton, semoga kedepannya film2 Indonesia dpt dibuat dgn sungguh-sungguh seperti ini.