Tuesday, March 26, 2013

[Review] Brazil (1985)


Brazil (1985)
 Drama | Fantasy | Sci-Fi
Directed by Terry Gilliam
Starring:  Jonathan Pryce, Kim Greist, Robert De Niro and Michael Palin


Kehidupan manusia semakin lama akan semakin bergantung pd teknologi yg kian canggih, Terry Gilliam menggambarkan keadaan tersebut dgn sangat apik  lewat filmnya di thn 1985 berjudul Brazil, sebuah film sci-fi dan fantasy dgn gaya unik dalam sebuah dunia distopia yg kelam, Brazil menceritakan tentang seorang pria bernama Sam Lowry (Jonathan Pryce) yg bekerja utk pemerintahan di departemen pencatatan, Sam sering bermimpi hidup di dunia yg penuh kebebasan dimana ia bisa terbang dan bertemu wanita idamannya,  ia sendiri hidup dlm dunia yg semua serba diatur dan dpt dimonitor oleh pemerintah, secara tdk sengaja sistem milik pemerintah salah mengeluarkan nama belakang seorang teroris yg seharusnya Tuttle menjadi Buttle, akibat salah tangkap dan berujung pd kematian, Sam kemudian ditugaskan utk menyelesaikan kasus ini, ia bertemu dgn Harry Tuttle (Robert de Niro) yg bekerja sbg tukang servis, Ia pun berkenalan dgn Jill Layton (Kim Greist), gadis idaman dlm mimpinya yg ternyata jg merupakan saksi dr penangkapan Mr. Buttle, situasi menjadi kacau saat Sam malah dituduh menjadi otak dr serangkaian pemboman serta aksi teroris lainnya.  



Tidak banyak film bergenre sci-fi yg kisahnya dipenuhi humor satir layaknya Brazil, mulai dr birokrasi yg rumit, akar terorisme, sampai tren operasi plastik semuanya dibuat menjadi ironi yg terasa getir lewat film ini. Mungkin yg membuat Brazil menjadi unik dan mudah diingat adalah  gaya desain retro-futuristis yg terlihat jelas di film ini, Visualisasi dunia di masa depan dibuat menjadi terlihat berbeda oleh Gilliam, ia seperti membayangkan bagaimana keadaan dunia di thn 1980an dr sudut pandang sineas film di thn 40an, gaya film ini kelak menjadi inspirasi beberapa artis dan penulis dr sub-kultur Steampunk. Unsur surealisme juga sangat mempengaruhi kisah film ini, dimana dlm mimpinya Sam bisa terbang dan melawan samurai raksasa utk menolong gadis impiannya selayaknya kisah dongeng fantasi. Penampilan komikal dr para pemeran film ini terasa pas dgn nuansa black comedy yg tersaji, apalagi dgn kemunculan Robert De Niro yg tidak biasa  meski kehadirannya hanya sedikit saja disini. 



Terry Gilliam adalah salah satu dr sekian banyak sutradara hebat dunia yg seringkali tdk mendapatkan sorotan yg pantas ia dapatkan, kebanyakan film yg telah ia hasilkan bukanlah makanan empuk box-office atau mimpi menyenangkan para produser Hollywood, anggota Monty Phyton ini pantas disebut sbg cult directors dimana karya-karyanya merupakan sebuah perjalanan visual yg luar biasa apik, penggambaran tentang dunia yg penuh imajinasi namun tetap dgn sentuhan humanis. Terry Gilliam juga dikenal sbg seorang sutradara yg perfeksionis dan tdk suka apabila idenya diganggu gugat, bahkan ketika film Brazil dirilis, ia sempat marah trhdp studio dimana ia bekerja (Universal) & berjanji tdk akan bekerjasama dgn studio itu lg, alasannya adalah studio tsb mengedit ulang filmnya secara frontal, menjadikan filmnya lebih ringan lengkap dgn happy ending. Namun tetap saja di mata para pecinta sinema  the original Gilliam’s Version adalah yg terbaik dan hingga sekarang pun Brazil selalu masuk daftar film sci-fi terbaik yg pernah ada. Saya pribadi mengangap film ini sebagai sebuah masterpiece yg layak disejajarkan dgn Blade Runner yg juga dirilis di era yg sama.



Trivia:

-Terry Gilliam menyatakan kalau film Brazil terinspirasi dr novel 1984 karya George Orwell meskipun ia sendiri mengakui belum membaca bukunya.

-Proses pembuatan film ini sangat menguras tenaga dan pikiran Gilliam, bahkan ia sampai stress hingga tdk bisa menggerakan kakinya.

-Terry Gilliam terkadang menyebut kalau film ini merupakan seri kedua dr “Trilogy of Imagination” yg dimulai dr Time Bandits (1981) dan diakhiri dgn The Adventures of Baron Muncahusen (1989)
 

Thursday, March 14, 2013

[Review] Saturday Night Fever (1977)

Saturday Night Fever (1977)
Drama | Music  
Directed by John Badham
Starring: John Travolta, Karen Lynn Gorney, Barry Miller

Setiap generasi pasti selalu diwarnai dgn budaya yg populer di zamannya, di era 70-an sendiri musik disko dan joget bergaya John Travolta menjadi sangat terkenal lewat film Saturday Night Fever (1977), film ini menggambarkan sebuah kehidupan yg dijalani sekelompok anak muda yg mencari hiburan di malam minggu utk berjoget dan minum2 di sebuah diskotik, karakter utamanya adalah Tony Manero (John Travolta) pemuda 19 thn yg berpenampilan keren dan tinggal di Brooklyn, kehidupannya cukup keras dimana ia bekerja di sebuah toko cat dan keluarganya sendiri lebih menyayangi kakaknya sehingga Tony kadang sering bertengkar dgn orangtuanya. Setiap malam minggu Tony bersama dgn sahabatnya Joey (Joseph Cali), Double J (Paul Pape) dan Bobby (Barry Miller) pergi ke sebuah diskotik bernama 2001 Odyssey, selain menghabiskan waktu utk bersenang-senang selepas bekerja senin-jumat, disana Tony juga memamerkan keahliannya berjoget di lantai dansa hingga ia nampak sperti raja disko yg membuat kagum teman-temannya dan seluruh pengunjung diskotik, Tony terpikat dgn seorang wanita yg jago berdansa bernama Stephanie (Karen Lynn Gorney), melihat hal tersebut ia berusaha mendekati Stephanie utk mengajaknya menjadi partner di kontes dansa namun ternyata Stephanie yg berusia lebih tua darinya bersikap acuh dan mengangapnya sepele, Tony pun berusaha bersikap lebih dewasa dan membuktikan kpd keluarganya bahwa ia memang pantas utk dibanggakan.


Feel the city breakin' and ev'rybody shakin' and we're stayin' alive, stayin' alive..mulai dr adegan awalnya saja film Saturday Night Fever sudah menyajikan musik yg mengajak penonton utk bergoyang, tidak dapat disangkal bahwa film ini memberikan pengaruh yg sangat kuat, dari mempopulerkan nama John Travolta sbg aktor sampai menaikan pamor musik disko itu sendiri, setiap lagu yg dinyayikan oleh grup Bee Gees di film ini pun menjadi hits yg mendunia, sebut saja lagu How Deep is Your Love, Stayin Alive, sampai Night Fever yg semuanya terasa berkesan hingga sekarang. Dari film ini kita juga bisa melihat sebuah potret kehidupan anak muda di era 70-an yg benar2 menikmati kegiatan mereka dgn berjoget di lantai dansa, mungkin jika dilihat di masa sekarang musik disko dan fashion yg populer di era tsb akan terlihat cheesy namun disitulah letak daya tarik film yg disutradarai oleh John Badham ini, penampilan John Travolta memang sangat keren dan berciri khas, mulai dr style berpakaian hingga gaya rambutnya, yg paling menonjol dr seorang John Travolta disini adalah kemampuannya dalam berjoget disko yg terlihat bak seorang penari profesional, dlm film Pulp Fiction (1994) John Travolta kembali memamerkan keahliannya tersebut. Selain tentang cinta dan persahabatan Saturday Night Fever juga tak bisa dilepaskan dr realitas budaya urban di Amerika itu sendiri, Tony Manero merupakan wujud dr pemberontakan kaum muda yg berjuang utk membuktikan eksistensi dirinya, memang Saturday Night Fever akan selalu teringat bukan dari segi ceritanya melainkan berkat penampilan yg memikat dr John Travolta, apalagi dgn diiringi musik dr Bee Gees yg seperti terdengar abadi, pasti anda pun akan dibuat bergoyang dgn menonton film ini.


TRIVIA:
- Judul awal film ini adalah Tribal Rights of Saturday Night, lalu dipendekan menjadi Saturday Night karena kisahnya ketika Tony bermalam minggu dgn teman-temannya. Tapi ketika Bee Gees menyodorkan lagu Night Fever judulnya menjadi Saturday Night Fever karena dianggap lebih menjiwai filmnya.
- Kesuksesan film ini diikuti sekuelnya, Staying Alive (1983) yg disutradarai Sylvester Stallone. Secara finansial Staying Alive terbilang sukses namun banyak penonton dan kritikus yg mengangap film pertamanya jauh lebih superior.
 

Saturday, February 23, 2013

[Review] The Master (2012)


The Master (2012)
 Drama
Directed by Paul Thomas Anderson
Starring: Joaquin Phoenix, Phillip Seymour Hoffman and Amy Adams

Pada awalnya mungkin banyak yg menyangka film terbaru dr Paul Thomas Anderson (yg sangat ditunggu-tunggu) ini berkaitan dgn Scientology, apalagi sering disebut bahwa karakter sang Master di film ini merujuk kpd Ron Hubbard yg notabene adalah pendirinya, semua spekulasi itu akhirnya terjawab dan The Master memang bukanlah film tentang Scientology – namun ini tetap sebuah film drama yg bisa memicu perdebatan lewat kisahnya itu sendiri. Freddie Quell (Joaquin Phoenix) adalah seorang veteran US Navy yg pemabuk dan menderita trauma yg biasa dialami oleh para prajurit setelah perang, ia juga sempat bekerja sbg fotografer dan petani namun justru selalu membuat masalah hingga keluar dr kedua pekerjaan tsb, terlihat putus asa dlm menemukan tujuan hidupnya Freddie tak sengaja memasuki sebuah kapal pesiar di San Fransisco, disana ia bertemu dgn Lancaster Dodd (Phillip Seymour Hoffman) yg biasa disebut Master; seorang pemimpin sebuah cult (penulis, dokter dan fisikawan nuklir) yg menjalankan sebuah program self-help bernama “The Cause” , Freddie yg sering meracik minuman alkohol yg diolahnya sendiri ini tertarik dgn figur karismatik Dodd, sang Master ternyata menyukai minuman racikan dr Freddie dan mengajaknya utk mengikuti perjalanannya dlm menjalankan metode terapi. Dikenal sangat setia terhadap sang Master, Freddie yg juga menjadi pasien terapi yg dilakukan Dodd ternyata masih memiliki sisi liar dalam dirinya. Istri Dodd, Peggy (Amy Adams) dan anak mereka Elizabeth (Ambyr Childers) yg awalnya menerima kehadiran Freddie mulai merasa bahwa pria tersebut berbahaya utk kelompok mereka. 

 

Setelah lama dinantikan karya terbarunya, Paul Thomas Anderson (PTA) akhirnya membuktikan bahwa dirinya masih pantas disebut sbg salah satu filmmaker terbaik masa kini, lewat The Master film keenam-nya yg menimbulkan kontroversi ini PTA masih mengeluarkan kemampuan terbaiknya dlm menulis & menyutradarai dgn gaya sinematik yg terbilang istimewa. Ia seperti ingin mengajak penonton dan penggemarnya utk bernostalgia sambil berusaha mengembalikan jatidiri sinema Amerika yg sudah mulai terlihat luntur, film ini terasa seperti dr era yg berbeda lewat aroma klasiknya, tidak hanya sekedar setting-nya saja (1950-an) namun juga mulai dr Scoring (Johnny Greenwood yg kembali berkolaborasi dan kali ini trdpat lagu2 bernuansa oldies), desain produksi yg berkelas hingga camerawork yg menangkap gambar2 indah dgn penuh perhitungan dan dikomposisikan sedemikian rupa. Dari semua aspek hal yg paling terlihat menonjol adalah akting pemainnya terutama 2 bintang utamanya Joaquin Phoenix dan Phillip Seymour Hoffman, penampilan Phoenix yg kuat sangat terasa, ia seperti menjiwai karakter Freddie yg labil dan tidak mudah ditebak, raut wajah dan fisiknya sudah menggambarkan bahwa Freddie memang pria yg tak bisa mengendalikan emosinya sendiri, bahkan di sebuah adegan yg saya anggap paling mengejutkan dan mengesankan dr film ini, Phoenix mengamuk sampai menghancurkan toilet dan menabrak jeruji sel seperti binatang liar saat dimasukkan ke dlm sel bersebelahan dgn Dodd. Di sisi lain Phillip Seymour Hoffman yg sdh bermain 5 kali dgn sang sutradara juga tampil dlm performa terbaiknya, disini ia lebih terlihat bijaksana, tenang, penuh percaya diri dan selayaknya seorang Master yg bisa mengendalikan keadaan setiap saat, kemampuan akting yg memukau dr mereka berdua seolah saling melengkapi dlm film ini hingga patut diapresiasi dan dikenang.



Harus diakui film ini tdk mudah utk dinikmati begitu saja, bila dibandingkan karya2 PTA sebelumnya (Boogie Nights, Magnolia, TWBB) The Master seperti menyimpan misteri yg menantang penonton utk memikirkan apa yg baru saja disaksikannya. Dr segi storytelling film ini memang terlihat kurang memuaskan, terutama saat memasuki bagian akhir dimana peristiwa yg muncul terasa mengalir tanpa konflik yg berarti. PTA nampak fokus dgn dinamika antara karakter Freddie dgn Dodd yg seperti layaknya anak dan ayah atau murid dgn gurunya, hubungan mereka terlihat intim dan saling membutuhkan seperti mengulang film PTA sebelumnya (Dirk Diggler dgn sang sutradara di Boogie Nights). The Master sesungguhnya merupakan cerita Freddie Quell; sosok yg kehilangan arah dan menemukan seseorang yg bisa membantu utk mengatasi masalahnya dlm diri Dodd, sesi terapi yg memunculkan ingatan2 di masa lalunya (berpisah dgn gadis idamannya Doris) ternyata memiliki efek yg cukup melegakan bagi dirinya, di beberapa adegan Freddie terlihat seperti orang yg terobsesi dgn sex dan kemungkinan perilaku inilah yg terus berlanjut, mirip dgn Alex di A Clockwork Orange (Kubrick, 1971) yg “kembali” menjadi dirinya sendiri, PTA sendiri pernah membuat karakter yg penuh kompleksitas & menarik dlm diri Daniel Plainview (There Will Be Blood) dan kali ini ia melakukannya kembali. Overall meski film ini bisa dianggap bukanlah masterpiece dr seorang PTA namun tetap harus diakui bahwa The Master merupakan sebuah classical filmmaking yg luar biasa di era sinema modern. 

 
TRIVIA:
- Paul Thomas Anderson banyak mengambil inspirasi dari dokumenter pemerintahan John Huston tahun 1945, Let There Be Light yang mengeksplorasi trauma dan depresi yg diderita tentara setelah perang
- Untuk pertama kalinya PTA tidak bekerjasama dgn sinematografer setianya Robert Elswit, ia digantikan oleh Mihai Malamaire Jr.yg pernah terlibat dlm film2nya Francis Ford Coppola
- The Master disyut dalam film 65mm, film pertama yg menggunakanya setelah Hamlet buatan Kenneth Branagh di thn 1996
 

Friday, February 15, 2013

[Review] Silver Linings Playbook (2012)


Silver Linings Playbook (2012)
Comedy | Drama | Romance  
Directed by David O. Russel
Starring: Bradley Cooper, Jennifer Lawrence, Robert De Niro and Jackie Weaver

Apa jadinya bila dua orang dengan gangguan mental berusaha utk mengenal karakter masing2 dan berharap dapat saling menolong masalah yg mereka hadapi? Mungkin itulah kira-kira gambaran besar film Silver Linings Playbook, drama romantic comedy terbaru dr David O Russel dimana konflik keluarga, masalah mental dan hubungan percintaan bisa menyatu dlm kisahnya. Pat Solitano Jr. (Bradley Cooper) adalah seorang guru SMA yg baru saja keluar dr pusat rehabilitasi mental, ia dtahan akibat memukuli pria yg berselingkuh dgn istrinya Nikki,  setelah Pat keluar ia tinggal kembali bersama kedua orangtuanya Pat Sr (Robert De Niro) dan Dolores (Jackie Weaver), Pat didiagnosa menderita bipolar disorder yg membuat emosinya tidak stabil, ia bahkan bisa menjadi agresif  jika mendengar lagu pernikahannya sendiri, kondisi ini juga yg membuat Pat kurang dpt bersosialisasi dgn baik terutama dgn ayahnya yg bersikap kompulsif. Pat berusaha ingin merubah sifatnya menjadi lebih baik agar hidupnya kembali normal, selain itu ia masih mencintai istrinya dan ingin rujuk kembali namun ternyata hal ini sulit dilakukannya seorang diri, keadaan mulai berubah saat Pat bertemu dgn Tiffany (Jennifer Lawrence) adik ipar dr sahabatnya yg juga seorang janda muda, Tiffany sendiri adalah sosok perempuan yg temperamental dan “nakal” setelah kematian suaminya, meski awalnya Pat merasa terganggu dgn sifat2 Tiffany namun justru ketidakcocokan inilah yg membuat mereka dapat mengenal satu sama lain.


Diluar dugaan saya sebelumnya ternyata Silver Linings Playbook adalah sebuah film yg menarik  dan berkesan, meski plotnya terlihat sederhana film ini dapat menampilkan sebuah gambaran cerdas akan kontradiksi dan kompleksitas emosi manusia. Dengan gaya khasnya David O. Russel (Three Kings, The Fighters) menyutradarai film yg diadaptasi dr novel ini dengan mengumpulkan cast yg solid untuk tiap karakternya, Bradley Cooper memberikan penampilan terbaiknya sbg Pat yg memiliki gangguan mental dan depresi, intensitasnya terlihat kuat di sepanjang film ini, Robert De Niro pun kembali ke performa terbaiknya sbg sosok ayah yg bermasalah, namun yg  paling mencuri perhatian saya disini adalah Jennifer Lawrence; bintang muda The Hunger Games ini terlihat bersinar dgn kemampuan aktingnya yg  semakin matang, perubahan emosi yg ia tampilkan sbg seorang perempuan nakal dgn jiwa labil  terbilang mengagumkan, bahkan di salah satu adegan dimana Tiffany dan Pat sedang makan malam di sebuah restoran, dgn tak terduga Jennifer bisa mengeluarkan sifat meledak-ledaknya di hadapan semua orang. Saya rasa dari semua aktor/aktris yg bermain disini Jennifer Lawrence  yg sangat berpotensi mendapat penghargaan di ajang Oscar tahun ini.


Keseimbangan yg pas mungkin adalah salah satu faktor mengapa Silver Linings Playbook  bisa mendapatkan banyak nominasi Oscar kali ini, David O. Russel selama ini memang dikenal sbg sutradara yg keras dan disiplin dalam mengarahkan kru dan pemainnya, tak jarang ia terlibat konflik seperti dgn George Clooney di film Three Kings. Untuk film terbarunya ini David dengan handal mengkombinasikan semua unsur drama dan komedi dalam kisahnya menjadi sebuah sajian yg menarik, karakter2 yg vulnerable pun dibuat saling melengkapi sehingga terlihat kompak, momen feel good yg nampak di bagian akhir kisahnya seolah memang ingin menyenangkan semua penonton, sebuah alasan yg tepat mengingat selama ini film romcom ala Hollywood dibuat dgn gaya yg serupa namun untuk film ini sendiri menjadi tidak terkesan klise. Layaknya kata Excelsior yg sering diucapkan oleh sang protagonis, Silver Lining Playbook memiliki energi positif yg membuat film ini menjadi lebih nikmat utk ditonton oleh siapapun.                    



Friday, January 25, 2013

[Review] Gangster Squad (2013)


Gangster Squad (2013)
 Action | Crime | Drama
Directed by Ruben Fleischer
Starring: Josh Brolin, Ryan Gosling, Sean Penn and Emma Stone


Kisah Polisi melawan mafia bukan lagi hal yg baru diangkat ke dalam layar lebar, sudah banyak film seperti ini diproduksi oleh Hollywood dimana kekerasan menjadi sajian utamanya, keterlibatan polisi korup sampai bos mafia yg kejam terhadap siapapun, memang jelas terlihat jika semua klise film gangster akan kembali digunakan dalam film yg bersetting di Los Angeles thn 1949 ini. Gangster Squad mengisahkan tentang bos mafia bernama Mickey Cohen (Sean Penn) yg menguasai kota dgn bisnis haramnya, mulai dr narkoba sampai prostitusi semua bisa ia kuasai, tak hanya itu Mickey juga mendapat perlindungan dr pihak kepolisian hingga hakim yg korup dan membuat ia leluasa menjalankan bisnisnya tsb, namun hal ini tak bertahan lama saat seorang polisi yg jujur dan berani bernama John O’Mara (Josh Brolin) mendapat tugas dr atasannya utk memerangi Mickey Cohen dan anak buahnya, John membentuk sebuah unit polisi rahasia  & ditugaskan utk merekrut  anggota2 hebat seperti Jerry Wooters (Ryan Gosling), polisi tampan yg menjalin hubungan dgn Grace Faraday (Emma Stone) yg tak lain juga merupakan gadis simpanan dr Mickey Cohen, ada juga seorang veteran yg jago menembak bernama Max Kennard (Robert Patrick), polisi tangguh yg ahli menggunakan pisau Coleman (Anthony Mackie) dan polisi yg cerdas dalam hal penyadapan Conway Keeler (Giovanni Ribisi), mereka semua bersatu utk menjatuhkan kelompok Mickey Cohen dgn cara apapun yg bisa mereka lakukan. 


Gangster Squad ternyata tidak lebih dari sekedar pertunjukan action yg menampilkan semua jenis kekerasan seperti perkelahian dan penembakan brutal dgn mengambil semua unsur film gangster klasik ke dalam ceritanya, buat yg memang menyukai jenis film action tentu akan berdecak kagum dgn banyaknya set-piece yg seru dan dipenuhi kekerasan seperti yg ditampilkan dalam film ini, namun bagi anda yg menginginkan sebuah kisah dramatis yg terjalin dgn apik jelas akan kecewa dengan storytelling film ini sendiri yg terkesan dangkal. Ruben Fleischer sbg sutradara Gangster Squad sebelumnya pernah sukses dalam membuat film comedy horor berjudul Zombieland, sebuah film zombie yg lucu, berdarah-darah dan dibuat dengan tingkat hiburan yg tinggi. Untuk film terbarunya kali ini Fleischer memasukan banyak aktor kelas atas utk berperan seperti Sean Penn yg menjadi tokoh antagonis, Josh Brolin sbg polisi yg berintegritas dan Ryan Gosling yg kini namanya sedang berkibar di Hollywood, sayangnya semua nama besar dalam cast tersebut tidak bisa mengangkat mutu dr film ini sendiri, hanya Mickey Cohen karakter yg bisa dihidupkan oleh Sean Penn lewat penampilannya yg cukup meyakinkan meski kadang terasa agak berlebihan, belum lagi konflik yg dibuat antara polisi melawan mafia disini hanya nampak terfokus pd aksi kekerasannya saja. Secara keseluruhan film Gangster Squad tidak akan menimbulkan kesan yg mendalam bagi anda yg berharap lebih dr sekedar tembak-tembakan, film dgn style visual yg modern ini juga tidak terlalu menghibur atapaun memberikan dampak yg berarti, khusunya dalam genre gangster itu sendiri, film yg jelas mengecewakan di awal tahun 2013 ini.





Sunday, December 30, 2012

[Review] Life of Pi (2012)


Life of Pi (2012)
 Adventure | Drama
Directed by Ang Lee
Starring: Suraj Sharma, Irrfan Khan, Adil Hussain  and Rafe Spall  
  
Tidak semua kisah dalam novel bisa dgn mudah diadaptasi menjadi film,  ada novel tertentu yg memiliki kesulitan untuk diangkat ke layar lebar dan salah satunya adalah Life of Pi karya Yann Martel, pemenang Booker Prize ini sering disebut-sebut sebagai novel yg unfilmable karena mengangkat kisah pemuda yg berhasil selamat di tengah lautan, berada di perahu dgn beberapa binatang yg salah satunya adalah harimau ganas. Hal ini tentu akan menjadi tantangan bagi siapapun sutradara yg berani membuat film ini dan orang tersebut adalah Ang Lee, filmmaker asal Taiwan yg juga pemenang Oscar ini memang layak untuk mengangkat kisah drama yg sebenarnya tragis tersebut, Life of Pi mengisahkan tentang seorang pria bernama Pi Patel (Irfann Khan) yg saat berusia 16 tahun mengalami sebuah peristiwa luar biasa dlm hidupnya, keluarga Pi memiliki kebun binatang di Pondicherry India, masa kecilnya dihabiskan disana dan ia sendiri tertarik dengan beraneka konsep agama, meski dibesarkan scr Hindu Pi bereksplorasi dgn agama Kristen dan Islam utk tujuan mengenal sosok Tuhan lebih lanjut. Suatu hari keluarga Pi memutuskan pindah ke Kanada dgn membawa koleksi binatang yg ada, di tengah perjalanan kapal yg mereka tumpangi mengalami kecelakaan, Pi (Suraj Sharma) berhasil selamat di tengah lautan dengan sebuah sekoci yg didalamnya terdapat 4 binatang berbeda yakni seekor zebra, hyena, orangutan, dan harimau bernama Richard Parker. Kisah petualangan Pi di lautan selama 227 hari menjadi sajian utama dalam film ini.

Setelah cukup lama proses adaptasi novel laris Life of Pi ke layar lebar akhirnya dapat terwujud di tahun 2012, film ini mampu bertutur layaknya sebuah dongeng dan cerita fantasy dgn gambar2 indah yg ajaib. Ang Lee yg dibantu oleh penulis naskah David Magee tidak hanya menyajikan sebuah kisah petualangan Pi yg dramatis di tengah lautan, namun juga memasukan unsur spiritualisme yg kuat tanpa terlalu terkesan menggurui, kehidupan Pi sendiri saat ia masih kanak2 di India diceritakan secara kronologis, dari asal mula ia diberi nama Piscine Molitor Patel oleh pamannya hingga Pi yg diolok-olok oleh teman sekolahnya karena sering dipanggil “Pissing” membuat film ini  sudah menarik perhatian sejak awal. Tokoh Pi yg dihadirkan lewat 3 orang berbeda usia terlihat pas dgn kemampuan akting yg mereka tampilkan, contohnya Irffan Khan; aktor India pemeran Pi dewasa ini tampak bijaksana saat menceritakan pengalaman hidupnya, ini juga diimbangi dgn penampilan Suraj Sharma, remaja 18 rahun yg baru pertama kali bermain film namun sudah mampu menghidupkan emosi dr karakter Pi yg harus berjuang di tengah lautan, terutama saat ia belajar hidup berdampingan dgn seekor harimau bernama Richard Parker di kapal. 


Layaknya sebuah produksi film Hollywood yg dikerjakan secara gerilya, itulah yg digambarkan Ang Lee saat ia sedang  mengerjakan film Life of Pi ini, syuting film sebagian besar dilakukan di sebuah studio berlokasi di Taiwan yg disulap menjadi tangki air raksasa menunjukan skala yg ambisius dr proyek besar ini, keindahan lokasi baik itu di kebun binatang India (yg terlihat pd opening scene) hingga lautan samudra Pasifik  yg luas mampu disajikan dgn sempurna oleh DoP Claudio Miranda, membuat format 3D yg digunakan menjadi tdk sia-sia, scoring-nya pun terasa menyejukan hati di momen2 yg pas dgn adegan film ini. Di balik keindahan visual dan kecerdasan naskahnya film Life of Pi memang terasa menghibur dan cocok sebagai tontonan keluarga, tema yg diangkat tidak hanya sekedar kisah survival di tengah lautan tetapi juga merupakan sebuah pencarian makna dan jati diri dr kehidupan manusia itu sendiri, Intinya Ang Lee sudah mampu mewujudkan novel yg unfilmable ini menjadi sebuah film yg cantik dan mempesona.