Thursday, July 25, 2013

[Review] Only God Forgives (2013)

Only God Forgives (2013)
Crime | Drama | Thriller
Directed by Nicolas Winding Refn
Starring: Ryan Gosling, Kristin Scott Thomas, Vithaya Pansringarm 
 Time to Meet The Devil 

Di tahun 2011, nama Nicolas Winding Refn seolah mendapat perhatian khusus dari kalangan kritikus dan penggemar film lewat karyanya berjudul Drive, sebuah Retro-noir yg stylish  dan menampilkan karakter utamanya yg pendiam, misterius sekaligus memikat. Kerja samannya yg intens dengan sang aktor Ryan Gosling dan penyutradaraan film tersebut dianggap brilian hingga mampu membuahkan Best Director di Cannes (film ini juga meraup untung 76 juta dollar scr global, lima kali dr budget-nya). Oleh karena itu kolaborasi antara Refn dan Gosling pun menjadi layak ditunggu mengingat keduanya memutuskan utk terus bekerjasama dalam proyek film selanjutnya, seperti yg terbaru kali ini sebuah crime thriller yg keras dan bersetting di Bangkok berjudul Only God Forgives. Menampilkan karakter utama yg bernama Julian (Ryan Gosling), ia seorang ekspatriat Amerika yg tinggal di Bangkok Thailand dan menjalankan sebuah klub Thai Boxing utk menyamarkan bisnis operasi narkoba yg ia jalani.  Billy (Tom Burke) kakak dari Julian yg juga menetap di Bangkok mendapat masalah besar saat ia membunuh seorang psk yg masih di bawah umur, kepolisian Thailand yg dipimpin oleh letnan Chang (Vithaya Pansringarm) menangani kasus ini dan scr tak terduga malah membiarkan ayah dr sang anak utk membunuh Billy, setelah hal ini diketahui oleh Julian, ia pun menyadari jika Chang adalah seorang yg disebut-sebut sbg “Angel of Vengeance”, polisi dengan prinsip keadilan yg tak segan2 memotong, menyiksa bahkan membunuh setiap orang yg ia anggap pantas mendapat hukuman setimpal. Mendengar kabar anaknya sulungnya terbunuh, sang ibu dr Julian, Crystal (Kristin Scott Thomas) segera datang ke Bangkok dan memberi perintah kepada Julian serta anak buahnya utk membalas dendam kematian Billy.



Tidak seperti yg menjadi harapan saya, karya terbaru Nicolas Winding Refn dan Ryan Gosling ini ternyata tidak mampu menyajikan tontonan menarik dan keren selayaknya Drive. Memang ada beberapa kemiripan antara film ini dengan karya Refn-Gosling sebelumnya itu, sebut saja tokoh utama yg pendiam dengan aura misteriusnya, minimnya dialog yg juga membuat film ini lebih dingin dan untungnya bisa ditutupi oleh scoring music yg memikat dari Cliff Martinez, selain itu setting kota (Bangkok) yg eksotis terasa hidup dengan visual yg seperti bermandikan cahaya lampu neon. Segi desain artistik-nya menambah kesan surreal tersendiri dalam film yg disebut Refn sebagai sebuah Western modern ini, tapi memang semuanya itu tidak dapat menutupi banyak kehampaan film ini sendiri, karakterisasi dari setiap tokohnya seolah dibuat dengan penuh keanehan dan terkadang menjadi tidak manusiawi, bahkan untuk tokoh utama-nya saja yg diperankan oleh Gosling malah lebih terkesan pasif dan tidak memilki kelebihan apapun, jauh berbeda dgn karakter Gosling di film sebelumnya Drive yg lebih terlihat cool dan heroik. Film ini juga tidak mampu berbicara banyak dari segi plot-nya yg terasa klise seperti sebuah B-movie, pemeran pendukung-nya juga tidak banyak membantu dan kerap hadir hanya untuk menjadi korban kekejaman dari sang Angel of Vengeance, sosok polisi dengan prinsip moral yg anehnya sering berkaraoke. Harus diakui Refn memang hebat dalam menampilkan sisi brutalitas dengan gaya yg tidak konvensional, ia pun juga mampu menghadirkan karakter yg memikat (Bronson, Driver) dan film2-nya juga terkadang banyak menampilkan adegan yg  mengejutkan, namun ia nampaknya lupa kalo cerita yg menarik dan bisa memancing emosi penonton merupakan unsur penting yg tidak boleh dilupakan begitu saja. Buat saya Only God Forgives seolah hanya ingin menunjukan sisi buruk kekerasan dan manusia yg mampu melakukan sesuatu yg keji, tanpa basa-basi.




 

Wednesday, July 17, 2013

[Review] Trance (2013)

TRANCE (2013)
Crime | Drama | Thriller
Directed by Danny Boyle
Starring: James McAvoy, Vincent Cassel, Rosario Dawson


Elizabeth: The choice is yours. Do you want to remember or do you want to forget?  

Film dengan konsep tinggi yg bisa “memutar” otak memang akan selalu menantang untuk ditonton, beberapa film yg saya suka seperti Memento (200) dan Eternal Sunshine of the Spotless Mind (2004) masuk ke dalam kategori tersebut, dimana perhatian dan pikiran penonton terus dipacu utk memahami jalan ceritanya. Untuk tahun 2013 ini giliran sutradara pemenang Oscar Danny Boyle yg berusaha mengaburkan realitas dan mengacaukan kepala kita dgn film terbarunya Trance, sebuah film psychological thriller yg menarik dengan memasukan unsur hypnotist di dalamnya. Trance dimulai dengan sebuah pencurian lukisan Goya yg berharga tinggi di rumah pelelangan London, Simon (James McAvoy) adalah seorang juru lelang yg berusaha mengamankan lukisan tersebut saat aksi pencurian terjadi, namun rencananya gagal ketika bos gangster bernama Franck (Vincent Cassel) menghentikannya dan memukul kepala Simon hingga ia berdarah dan mengalami gegar otak. Franck yg mengambil folder penyimpanan lukisan dibuat terkejut saat ia membukanya dan justru menemukan bingkai kosong, lukisan berharga tersebut ternyata disembunyikan oleh Simon. Kesal merasa tertipu Franck menyuruh anak buahnya menyiksa Simon utk memberitahu dimana lukisan itu, namun kondisi Simon yg amnesia membuat ia tak bisa mengingat lagi keberadaan lukisan tersebut. Untuk mengetahuinya Franck membawa Simon bertemu seorang hipnoterapis bernama Elizabeth (Rosario Dawson), dari sini dimulailah kejar-kejaran yg membelokan realitas dan memasuki alam pikiran bawah sadar Simon saat ia dihipnotis dengan harapan bisa mengakses kembali memorinya yg hilang saat pencurian lukisan itu terjadi. 


Selalu saja ada yg menarik dari seorang Danny Boyle, sutradara asal Inggris ini  memang gemar bereksplorasi ke wilayah baru dengan gaya yg tidak biasa, mulai dari menangkap kecanduan heroin di Trainspotting, mencari surga dunia di The Beach, bepergian ke luar angkasa di Sunshine sampai petualangan menelusuri daerah kumuh India di Slumdog Millionaire saja bisa terlihat menyenangkan, film-filmnya selalu menampilkan sesuatu yg dinamis dengan detail dan kemampuan teknisnya yg terbilang handal. Keahliannya tersebut kembali ia tunjukan lewat film terbarunya Trance, Kali ini dengan dibantu penulis naskah John Hodge yg pernah bekerja sama dgn Danny di film pertamanya (Shallow Grave & Trainspotting), film ini juga seolah membawa Danny kembali ke kisah dunia kriminal seperti yg pernah ia tunjukan lewat film debutnya Shallow Grave. Trance sendiri awalnya lebih terasa selayaknya sebuah heist thriller dimana aksi kriminal seperti pencurian lebih ditonjolkan, karakterisasi dr protagonis (Simon) dan antagonisnya (Franck dkk) pun mudah utk diidentifikasi motifnya. Namun tenyata setelah unsur hipnotis itu sendiri masuk ke dalam ceritanya, plot film ini justru bergerak dengan ide-ide tentang persepsi & memori, mengeskplorasi tema kekerasan, cinta, kebohongan, dan manipulasi. Trance kemudian menjadi sebuah psychological thriller  yg membawa ketegangan sekaligus menyimpan kejutan di dalamnya.     


Dari segi akting James McAvoy menampilkan salah satu penampilan terbaiknya lewat tokoh utama yg mengalami amnesia, pada awalnya ia lebih seperti karakter korban yg tak berdaya, bisa mengundang simpatik lewat sikap dan terutama sorot matanya yg terlihat polos sebelum akhirnya rahasia yg cukup mengejutkan di dalam pikirannya terbuka lebar. Begitu juga dgn karakter hipnoterapis perempuan yg dimainkan oleh Rosario Dawson, ia seperti sosok femme fatale yg biasa ada dalam elemen film noir, ia memiliki peranan penting yg bisa mengungkapkan apa yg sebenarnya terjadi saat peristiwa pencurian lukisan tersebut, dua karakter inilah yg menjadi kunci utama dalam kisah film Trance, karakter bos gangster Franck ( Vincent Cassel) sendiri juga memiliki kaitan penting dalam alur ceritanya, bahkan meski ia seorang penjahat kita tetap bisa mengangapnya sebagai seorang korban. Terdapat juga beberapa kelemahan seperti tokoh sampingan anak buah Franck yg berjumlah 3 orang yg menurut saya tidak terlalu berpengaruh besar, selain itu Trance juga kurang terasa sisi emosional-nya seperti 2 film Danny sebelumnya yakni Slumdog Millionaire & 127 hours. Memang dibutuhkan fokus yg lebih saat menonton film ini agar logika plotnya dapat kita pahami sepenuhnya. Sebagian penonton mungkin saja akan mengangap kisahnya cenderung absurd dan stuktur alur ceritanya (penggunaan flashback dsb) dari awal seolah memang cenderung ingin memanipulasi persepsi penontonnya, tapi menurut saya plot yg terungkap perlahan justru adalah bagian dari keseruan film ini sendiri selain tentunya sebuah twist yg mengejutkan di akhir2 cerita. Sekali lagi lewat film Trance, Danny Boyle  berhasil menunjukan kemampuannya sebagai sutradara yg ahli meramu film2 lintas genre yg bisa mengundang perhatian, terlebih lagi film ini memang dibuat untuk menantang sekaligus membawa pikiran penonton ikut serta ke dalam perjalanan ceritanya.





Monday, May 20, 2013

[Review] Groundhog Day (1993)

Groundhog Day (1993)
Comedy | Drama | Fantasy
Directed by Harold Ramis 
Starring: Bill Murray, Andie MaCdowell and Chris Elliott 

He's having the day of his life...over and over again.


Setiap orang pasti pernah merasakan jika hari-harinya terasa sangat membosankan dengan melakukan rutinitas yg serupa, waktu pun terus berjalan hingga terkadang hidup ini terasa monoton. Namun apa jadinya jika suatu saat kita terbangun justru di hari yg sama secara berulang-ulang?, tentu keadaan dari hidup ini bisa diubah sedemikian rupa seperti yg terjadi dlm film Groundhog Day (1993) arahan Harold Ramis ini, sebuah film comedy-fantasy dengan premis yg menarik dan dibintangi aktor yg juga tdk kalah menariknya, yakni Bill Murray yg terkenal dgn ekpresi datarnya yg selalu bisa mengundang kelucuan, Kisahnya sendiri tentang seorang reporter cuaca di sebuah stasiun TV bernama Phil Connors (Bill Murray) yg ditugaskan utk meliput festival Groundhog Day di Punxsutawney, Pensnsylvania. Ia beserta sang produser, Rita (Andie MaCdowell) dan seorang kameramen Larry (Chris Elliott) pergi ke sana, setelah berhasil meliput acara tsb mereka justru tak bisa pulang karena ada badai salju yg memaksa mereka kembali ke kota Punxsutawney. Mulai dr sini petualangan aneh dimulai saat Phil yg terbangun pd jam 6 pagi dr tidurnya di kamar hotel mengalami hari yg sama, yakni tanggal 2 Februari saat festival Groundhog Day dilaksanakan dan hal ini ia alami scr terus menerus. Phil yg awalnya merasa aneh, terjebak dan tidak waras mulai memanfaatkan keadaan tersebut utk keuntungan pribadi, termasuk usahanya dlm mendekati sang wanita pujaan Rita, meski begitu Phil juga merasa kalo usahanya menjadi sia-sia karena hidupnya selalu berjalan di hari yg sama. 




Dengan konsep pengulangan waktu yg terjadi di alur ceritanya mungkin saja bisa membuat keunikan film ini terlihat membosankan, namun kenyataan yg terjadi justu sebaliknya, Groundhog Day tetap menjadi sebuah film yg menyenangkan dan (anehnya) tidak terasa membosankan utk ditonton kapanpun. Ini juga merupakan bukti bahwa tak semua film komedi khususnya Hollywood selalu menawarkan hal yg klise, karena justru Groundhog Day seolah menjadi salah satu dr sedikit film yg bisa memadukan unsur cult dgn mainstream. Banyak hal yg membuat film ini terlihat menarik selain tema high-concept cerdas yg digunakannya, pemilihan Bill Murray sebagai karakter utamanya tentu menjadi alasan kuat mengapa film ini jd terlihat menyenangkan, Bill selalu bisa tampil lucu tanpa harus memaksakan dirinya utk terlihat konyol. Ia memainkan perannya dgn sangat sempurna sebagai seorang yg sinis dan egosentris, Phil merasa tidak perlu memikirkan konsekuensi dr setiap perbuatannya karena tentu tdk akan memiliki efek di keesokan harinya. Di satu sisi selain sifatnya yg cenderung menyebalkan, Phil juga seorang yg tersiksa dengan “penjara” waktu yg ia alami sendiri, setiap usaha yg di awal ia lakukan utk menyenangkan dirinya sendiri justru membuat Phil bisa menyadari kalo ia memang harus merubah kepribadiannya, disinilah saya merasa Bill Murray sanggup menghidupkan perubahan emosi dr karakternya scr sederhana, hingga akhirnya Phil sendiri bisa menjadi tokoh yg likeable di mata penonton.





Memang Groundhog Day tetap menjadi film komedi romantis yg tentu saja menghadirkan sebuah kisah cinta di dalamnya, Bill Murray selalu  bisa cocok dgn setiap lawan mainnya dan di film ini hubungan cintanya dgn karakter yg diperankan Andie MaCdowell  terasa unik dan lucu, Phil seperti memanfaatkan setiap situasi yg dialaminya scr maksimal, ia mempelajari kebiasaan dan segala hal yg menjadi kesukaan dr Rita agar bisa menarik perhatiannya, tak jarang ciri khas Bill Murray sendiri yakni ekspresi datar dr wajahnya terlihat saat cintanya justru ditolak oleh Rita. Banyak momen yg menggambarkan kejadian lucu yg dialami Phil dlm film ini tapi yg paling  teringat oleh saya tentu saat Phil bisa menebak setiap kejadian yg akan ia alami dan ia pun belajar utk menjadi manusia yg bisa bermanfaat bagi sesamanya, saat momen tersebut terjadi film ini menjadi terasa mengharukan tanpa menghilangkan sisi humor di dalamnya. Kredit khusus tentu pantas diberikan utk Harold Ramis dan sang co-writer Danny Rubin yg bisa mewujudkan kisah fantasi semacam ini menjadi terlihat lebih bermakna, bukan sekedar tontonan yg dipenuhi aksi2 konyol selayaknya film komedi yg justru semakin banyak diproduksi Hollywood. Groundhog Day memang sebuah film istimewa yg bisa membuat anda tertawa dan terharu di saat yg bersamaan, walau dgn format komedi berbalut fantasi film ini juga bisa menjadi bahan perenungan dr kehidupan yg kita jalani sehari-hari.   




TRIVIA:
-Festival Groundhog Day ada di Amerika Serikat dan Kanada yg bertujuan utk menyaksikan apakah bayangan tupai tanah bisa menentukan lamanya musim dingin. Istilah “Groundhog Day” juga dipakai utk menggambarkan kejadian yg tidak menyenangkan dan terjadi berulang-ulang.

-Sutradara Harold Ramis mengatakan jika ide film ini sendiri datang dr buku berjudul The Gay Science karya seorang filsuf terkenal Friedrich Nietzsche, isinya mengenai seorang pria yg hidup di hari yg sama berulang-ulang. 
 

Saturday, May 11, 2013

[Review] Anna Karenina (2012)

Anna Karenina (2012)
Drama
Directed by Joe Wright
Starring:  Keira Knightley, Jude Law, Matthew Macfadyen, Aaron Taylor-Johnson and Domhnall Gleeson


Count Vronsky: "There can be no peace for us, only misery, and the greatest happiness"

Karya sastra klasik memang selalu menarik  Hollywood utk diadaptasi menjadi sebuah film, bukan hal aneh lagi jika sebuah novel bisa sampai dibuatkan filmnya berulang-ulang dengan berbagai macam alasan, salah satunya adalah utk memberikan sudut pandang yg berbeda dan memperkenalkan karya tersebut ke generasi yg lebih muda, meski pd kenyataanya faktor keuntungan jugalah yg menjadi target dr para produser Hollywood. Novel klasik Anna Karenina karangan Leo Tolstoy memang sudah pernah dibuat versi layar lebarnya, seperti yg dibintangi Vivian Leigh (1948) maupun Sophie Marceau (1998), tapi semua film tersebut tidak pernah sukses dan bahkan cenderung terlupakan, semua penggemar novel Anna Karenina tentu berharap Joe Wright bisa mengadaptasi kisah cinta yg tragis tersebut menjadi sebuah film yg bisa memukau mengingat ia kembali bekerjasama dgn aktris Keira Knightley yg pernah sukses dlm 2 film sebelumnya (Pride & Prejudice, Atonement) dgn sang sutradara. Kisahnya tdk berubah dr novelnya dgn setting Rusia pd abad ke-19, seorang perempuan cantik bernama Anna Karenina (Keira Knightley) merasa tidak bahagia dalam pernikahannya dgn seorang aristokrat yg jauh lebih tua, Alexei Karenin (Jude Law), meski mereka hidup berkecukupan dan sudah memiliki seorang putra, Anna justru lebih tertarik utk menjalin affair dgn seorang prajurit muda yg tampan bernama Count Vronsky (Aaron Taylor-Johnson), selain itu ada juga kisah kehidupan kakak Anna yg tinggal di Moscow bernama Stiva (Matthew Macfadyen) yg juga tidak setia dgn istrinya Dolly (Kelly Macdonald), Stiva sendiri kedatangan sahabat lamanya yaitu Levin (Domhnall Gleeson) yg masih memendam cintanya pd adik ipar Stiva sendiri yg bernama Kitty (Alicia Vikander), pada awalnya Kitty sudah bertunangan dgn Count Vronsky namun sejak kedatangan Anna ke Moscow perhatian Vronsky langsung tertuju kpd perempuan yg sudah berkeluarga tersebut. 




Anna Karenina karya Count Leo Nikolayevich Tolstoy (1828-1910) disebut sebagai salah satu novel terbesar sepanjang masa, Tolstoy menceritakan sebuah kisah menakjubkan dengan membingkai berbagai segi dan kedalaman emosi cinta, buat yg sudah membaca novelnya tentu bisa memahami inti ceritanya dimana ada sisi gelap hubungan cinta yg saling melukai antara Anna dan Vronsky, yg dikontraskan dengan hubungan penuh kebahagiaan antara Kitty dan Levin. Dalam film ini Joe Wright yg dibantu oleh penulis naskah Tom Stoppard membuat sebuah interpretasi yg cenderung tak biasa bila dibanding dgn film period drama sebelumnya yg pernah ia buat, Joe berusaha membawa penonton ke suasana drama ala teater yg penuh kemegahan, dengan didukung konsep visual yg ambisius serta kostum dan desain produksi yg terlihat berkelas, semua terlihat enak di mata penonton, namun sayangnya kelebihan tersebut tak didukung oleh jangkauan dan dalamnya emosi yg terjalin antar para pemainnya. Saya merasakan film ini seperti lebih mengutamakan gaya dibanding substansinya, seharusnya banyak momen yg bisa dibuat lebih dramatis dgn mendalami setiap konflik dr karakternya itu sendiri, banyak sisi tokohnya yg seolah tidak digali scr mendalam seperti perasaan dilematis dr Anna yg harus membagi kasih sayangnya antara sang anak  dgn kekasih gelapnya, bagian dari karakter Anna terutama adalah sebuah peran yg menantang untuk seorang aktris dan Keira cukup matang dalam membawakan perannya tersebut, walaupun sisi minusnya ada di chemistry-nya dgn Aaron yg kadang terlihat tidak nyambung. Satu hal yg pasti; adaptasi adalah proses menangkap esensi sebuah karya asli untuk dituangkan ke media lain, memang tak bisa dihindari beberapa elemen akan tetap digunakan dan beberapa lainnya akan ditinggalkan, tetapi hati dan jiwa cerita itu haruslah sama dan inilah yg menurut saya hilang dr film ini. Terlihat indah dan berkilau namun mudah utk dilupakan.






Monday, April 22, 2013

[Review] To The Wonder (2013)

To The Wonder (2013)
Drama | Romance  
Directed by Terrence Malick
Starring: Ben Affleck, Olga Kurylenko, Rachel McAdams and Javier Bardem


                  "an exploration of love in its many forms”


Setelah melakukan perjalanan ambisius untuk menangkap misteri keberadaan Tuhan dan makna hidup manusia di alam semesta lewat The Tree of Life (2011), sebuah film yg luar biasa  dan mendapat nominasi oscar serta menang penghargaan di Cannes, kini Terrence Malick  sang auteur filosofis ingin mencoba mengeksplorasi makna cinta dalam berbagai bentuk lewat karya terbarunya To the Wonder, dapat dibilang ini adalah sebuah drama romantik kontemporer tentang hubungan antar manusia yg dipenuhi dgn momen indah maupun yg sebaliknya, film ini tidak dipenuhi dgn dialog dan narasinya sendiri didorong oleh voiceover dr tokoh2 didalamnya, berawal di Paris saat Neil (Ben Affleck) seorang turis asal Amerika bertemu dan jatuh cinta dgn perempuan cantik bernama Marina (Olga Kurylenko) yg sudah memilki seorang putri berumur 10 thn,Tatiana (Tatiana Chiline). Pasangan ini kemudian memutuskan utk pindah ke Oklahoma dimana perbedaan kultur jelas terasa, disana hubungan Neil dan Marina serta putrinya berjalan harmonis sebelum muncul masalah saat Neil merasa belum ingin terikat hubungan pernikahan, Marina yg sempat memutuskan kembali bersama anaknya ke Paris membuat Neil justru merasa tertarik dgn teman masa remajanya dulu Jane (Rachel McAdams), karakter lainnya adalah seorang pendeta bernama Quintana (Javier Bardem) yg merasa mengalami krisis keimananan di tengah tugasnya dalam masyarakat.



Selama ini kesan puitis, spiritual dan eksperimental seolah tidak bisa lepas dr film2 Terrence Malick. Metodenya dalam membuat film memang tidak konvensional dan seperti juga karya2 sebelumnya To The Wonder pun dibuat dgn cara yg serupa, bagi anda sudah yg terbiasa dgn film arthouse ala Malick pasti akan dimanjakan dgn pemandangan alam yg sangat indah disertai pencahayaan alami, seperti yg terlihat di salah satu adegan film ini yaitu pemandangan lapangan gandum luas yg disirami cahaya merah langit senja. DoP Emannuel Lubezki yg sudah bekerjasama dgn Malick di 2 film sebelumnya kembali menunjukan keahliannya dalam menangkap gambar2 yg memukau. Berbagai macam momen kehidupan sehari-hari ditampilkan secara nyata dan ini sudah seperti menjadi kebiasaan Malick dalam memberikan kebebasan bagi para pemainnya utk bermain dengan leluasa, Ben Affleck, Olga Kurylenko, Rachel McAdams hingga Javier Bardem menggambarkan karakter mereka secara sederhana, namun tetap memberikan sisi emosional yg mendasari perasaan tokoh masing2. Narasi yg diucapkan dengan lembut oleh karakter To the Wonder bisa mengandung banyak arti apalagi ditambah dengan minimnya dialog, seolah film ini mengandalkan kekuatan gambar sebagai alat penceritaan, untung saja elemen scoring-nya terasa pas dengan kisah cinta yg menghanyutkan seperti yg terjadi dalam film ini sendiri. 



Terrence Malick bukanlah filmmaker realis maupun naratif, ia membuat film yg penuh simbolisme, renungan serta makna yg mendalam, ciri khas lainnya termasuk shot yg impresionistik tentang kehidupan manusia serta alam membuat filmnya mudah dikenali, ia juga terkenal sbg orang yg sangat privat dan tak pernah mau diwawancara. Sutradara visioner ini memilih syuting mengikuti intuisi dibanding skrip, menolak tunduk pd studio ataupun bintang film, mengumpulkan banyak sekali footage (termasuk shot alam) lalu “menemukan” bentuk filmnya saat mengedit. Banyak aktor maupun sutradara yg mengagumi metodenya dalam proses pembuatan film, seperti Martin Sheen yg pernah bekerjasama dgn Malick lewat film debutnya Badlands (1973), ia bahkan menjulukinya sbg seorang "Pujangga layar lebar", kisah cinta segitiga dgn pendekatan abstrak dalam film To the Wonder memang akan cenderung sulit dinikmati bagi yg tidak terbiasa dgn ciri khas sang sutradara, saya pribadi merasa film ini sudah seperti b-sides version dr The Tree of Life, saya juga lebih menyukai karya Malick sebelumnya itu yg meski terkesan ambisius namun tetap terasa personal di hati. Ada suatu keistimewaan tersendiri mengingat tidak biasanya kita bisa melihat karya2 sang sutradara dalam jangka waktu yg pendek, bahkan kabarnya sudah ada beberapa proyek film berikutnya yg siap dirilis, ini menandakan ia menjadi produktif dan tentu utk para penggemarnya termasuk saya akan selalu menunggu karya ajaib nan puitis berikutnya dari seorang Terrence Malick.


TRIVIA: 
-Kisah film ini termasuk semi-otobiografi dr kehidupan Malick sendiri, ia pernah menjalin hubungan dgn wanita asal Prancis dan kembali ke Texas sebelum akhirnya berpisah, ia pun kini menikah dgn teman masa sekolahnya dulu.
-Ini film pertama Malick sejak 1978 yg berdurasi dibawah 120 menit, selain itu juga ini pertama kalinya kehidupan modern dijadikan setting dalam film Malick sendiri.
-To The Wonder tidak menggunakan skrip saat syuting dan juga ini merupakan film yg terakhir kali direview oleh kritikus Roger Ebert sebelum ia meninggal.
 

Sunday, April 14, 2013

[Review] The Night of the Hunter (1955)

The Night of the Hunter (1955)
Drama | Film-Noir | Thriller
Directed by Charles Laughton 
Starring: Robert Mitchum, Shelley Winters, Lillian Gish  

Sosok pembunuh berantai atau biasa disebut serial killer sering dijadikan karakter antagonis dalam sebuah film, nama-nama seperti Norman Bates, Hannibal Lecter atau Zodiac killer mungkin sudah tidak asing lg di mata para pecinta film. Di era 50-an sebelum nama2 tersebut muncul sudah ada sebuah film berjudul The Night of The Hunter (1955)  yg memperkenalkan kita pd sosok pembunuh berantai bernama Harry Powell (Robert Mitchum), ia merupakan seorang pria yg mengaku sbg pendeta dan menggunakan pesonanya utk mendekati korban demi mendapatkan apa yg ia inginkan, di dalam sel penjara Harry mengetahui sebuah rahasia dr seorang tahanan yg menjalani hukuman mati bernama Ben Harper kalo ia menyimpan uang hasil curian sejumlah $10.000 di sekitar rumahnya. Setelah bebas dr penjara Harry menuju ke rumah Harper yg kini ditempati oleh janda dr Harper yakni Willa (Shelley Winters) serta dua anaknya yg masih kecil bernama John (Billy Chapin) dan Pearl (Sally Jane Bruce). John dan Pearl disini merupakan tokoh sentral yg mengetahui dimana letak uang tersebut dan mereka sdh berjanji pd ayahnya utk tidak memberitahu kpd siapapun, demi mendapatkan uang itu Harry berusaha mendekati anak2 tersebut dan ia pun akhirnya juga menikahi Willa Harper agar motif terselubungnya tidak diketahui, namun ternyata semua tidak berjalan mudah bagi Harry, John yg tidak menyukai kehadiran ayah barunya tersebut mulai curiga dgn sikap kasar Harry yg terus memaksa dirinya, saat ibu mereka menjadi korban kejahatan Harry kedua anak tersebut berusaha melarikan diri dr kejarannya dgn menaiki sebuah perahu dan menyusuri sungai.



Sebuah film thriller klasik yg menunjukan rasa takut kepada penonton dgn cara yg bisa dibilang artistik, The Night of The Hunter (1955) merupakan debut film dan satu-satunya film yg pernah dibuat oleh sutradara yg juga seorang aktor Charles Laughton, film dgn visual hitam-putih ini menggunakan style dan motif German Expressionism dimana bayangan dr karakternya terlihat dominan, sudut pandang kamera yg tidak biasa serta nuansa gelap yg terasa surreal dr settingnya sendiri, semua dibuat dgn tujuan memberi kesan yg menegangkan pd penonton dan agar sesuai dgn sifat jahat dr karakter antagonisnya. Di film ini sendiri Robert Mitchum, yg menurut kritikus Robert Ebert merupakan salah satu aktor Hollywood terhebat yg pernah ada, memainkan perannya sbg villain dgn sangat meyakinkan, sosok Harry Powell akan teringat karena tulisan di jarinya dimana kata Love (tangan kanan) dan Hate (tangan kiri) seolah menggambarkan kepribadiannya yg ganjil, dengan ciri khas suaranya yg berat dan tubuhnya yg tinggi Harry Powell menjadi sosok yg mudah ditakuti terutama dgn kata2 manis dan kebiasaanya berkotbah saat mendekati korbannya. Karakter anak kecil yg menjadi tokoh utama disini dpt dibilang mewakili sifat kepolosan manusia, saat orang dewasa yg seharusnya melindungi malah mengancam keselamatannya John berubah menjadi seorang yg pemberani  melebihi usianya, The Night of The Hunter memang sebuah film thriller yg cenderung menjauhi realisme dan lebih mendekati gambaran dr mimpi buruk, Laughton sukses menggabungkan teknik visual yg stylish dgn kisahnya yg menegangkan, tokoh Harry Powell yg seolah seperti serigala berbulu domba ini nampaknya memberikan pengaruh yg kuat terhadap karakter serial killer di masa mendatang.


TRIVIA:
-The Night of the Hunter menempati peringkat ke-34 dalam daftar ranking AFI's 100 Years...100 Thrills.

-Kisah film ini diadaptasi dari novel berjudul sama karya Davis Grubb yg dirilis thn 1953, film beserta novelnya sendiri mengangkat kisah nyata tentang Harry Powers yg dihukum gantung pd 1932 karena telah membunuh 2 janda dan 3 anak di West Virginia.